Skip to main content

You in My Dream

   
     Namun tiba-tiba aku terbangun, dan kulihat jam menunjukan pukul 09:22. Mataku berair. Langsung kucek hp dan segera ke personal chatnya. Tidak ada. Tidak ada chat darinya.
    
    Entah apa yang kumimpikan sehingga membuat pagiku terasa aneh. Samar-samar kudengar dari balik pintu kamarku yang masih terkunci. Suara Mama dan seseorang yang tak asing.

    "Alika belum bangun? Lah, masih dikunci pintunya." 

     Pandangan kualihkan ke arah pintu. Ah, itu suara Kakak perempuanku yang kebetulan jadwal mainnya adalah hari ini. Aku diam sebentar, sebenarnya apa yang terjadi di mimpiku tadi malam, sehingga membuat ku bangun hampir siang seperti ini. 
   
  "Ka, buka pintunya, Neng!" 

     Suara Mama membuat kutergerak untuk segara membuka pintu. Kemudian ia masuk, mengambil sesuatu yang tidak lama keluar. Aku segara membuka gorden agar cahaya matahari masuk. Merapikan springbed dan yang lain. Dan, ah, ya. Aku ingat!






                    ___________________







 Entah apa yang terjadi, aku tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba di kelas bisa ada anak baru, padahal ini adalah sedang ulangan hari terakhir. 
    Aku menoleh ke anak baru tersebut. Tidak asing. Beberapa kali ku lihat ke arahnya. Ah, iya. Ternyata benar! Itu adalah Muqorobin.
      
     Karena merasa belum yakin itu adalah dia, aku masih sering-sering menoleh lagi ke arahnya. Memastikan itu benar dia atau bukan. Dan, tiba-tiba—
    Dia ingin mengajak ku mengobrol. Sedari tadi kuperhatikan, gerak-geriknya seperti memberi sinyal untuk aku berjalan ke arahnya. 
   

     Saat itu, ketika jam pulang selesai ulangan, tapi masih belum diperbolehkan untuk pulang. Kita duduk di kursi ketiga yang terdiri dari tiga bangku. Ya, tiga bangku. Ini pasti ulah anak laki-laki yang kurang kerjaan. 
     Kutoleh ke belakang, ada Arif, Afif, dan Irul. Sepertinya mereka sibuk dengan gadget mereka. 
      


   Percakpan saat itu antara aku dan dia adalah soal pulang.

 "Kan dekat kalau dari sini kerumah bisa naik motor. Kamu dari sini ke rumah berapa jam?" tanyaku.

 "Empat jam. Nanti sampe sana naik kereta lagi."

    Begitu banyak yang kita bicara kan. Tapi yang paling ku ingat hanya itu. 

     Topik itu membuat ku ingat bagaimana bisa kamu yang yang tinggal di Nganjuk-Jawa Timur, bisa sampai bersekolah di Man 2 Kota Tangerang ini. Namun tiba-tiba seorang guru datang. Berbicara dengan nada naik.

   "Mana lagi soal yang kurang jelas, bisa tanya ke Ibu. Nggak ada lagi? Masa tadi Kamil doang yang sadar ada beberapa soal yang salah."


Semua diam.




Hening. 



   Termasuk aku dan dia. Percakapan kami sempat terhenti. Guru itu pergi kembali. Memang tadi sepertinya ada beberapa soal yang tidak jelas, kemudian yang berani bersuara hanyalah Kamil. Yang lain kenapa tidak, karena mereka pikir guru bidang studi tersebut killer.
    
   
   Kemudian, beberapa temanku memanggil dan membuat percakapan di antara kami terpotong begitu lama. 

    Tapi, entah mengapa aku sangat cari perhatian didepan dia. Seperti ingin mengenalkan bahwa mereka adalah teman ku. Ini adalah sekolah ku, kita sudah kenal dan akrab terlebih dahulu, dan kamu harus tau. Sangat memalukan. Tapi, saat itu faktanya memang seperti itu. 


    Ketika sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa anak sudah mangkal di pinggir jalan untuk menunggu bis yang mengantar mereka pulang. Aneh memang. Kenapa bis? Suasannya memang seperti sedang berada di pinggir jalan ICE BSD Serpong. Banyak rumput hijau dan kendaaran yang berlalu lalang.
      

     Termasuk dia. Seketika saat ia berada di kerumunan orang yang ingin pulang, mendadak wajahnya menjadi mirip dengan yang lain juga. 
      
   Dan, aku sulit mengenalinya. Tapi, benar atau tidaknya terakhir kulihat dia sudah naik bisnya. Aku masih menunggu bis bersama Putri dan Heni. Beberapa kali aku merenungkan tentang dia barusan. 

   Bahwasaannya dia yang tinggal di Nganjuk-Jawa Timur bagaimana bisa sampai bersekolah di Man 2 Kota Tangerang, kota ku tinggal ini? Dan, sering kali jarak yang memisahkan kita membuat aku berdoa untuk bisa bertemu dengannya. Lalu, tiba-tiba dia besekolah di sini. Di sekolah yang sama denganku?
     
   "Lo liat kan tadi ada anak baru?" tanya ku yang masih tidak percaya dan memastikan pada mereka. 
   
  "Iya, emang kenapa, dah?" sahut Putri. 

    "Beneran kan ada anak baru?" tanyaku sekali lagi.

    "Iyaa, beneran." sahut Heni kali ini.
    
"Tuh kan beneran, astaga! Yes! Yeay! Hahahah. Benerankan! Tuh kan doa gue dikabulin. Yes, alhamdulillah." jerit kusenang. 


   Aku mengingat sesuatu, karena jarak, aku selalu berdoa; untuk bisa bertemu dengannya suatu hati nanti. Nyatanya, kini dia satu sekolah dengan ku? Dikelas yang sama? Yea.





                          ______________






     Namun saat aku selesai merapihkan kamar tidur dan segera bergegas mandi. Aku tersadar. Itu semua hanyalah mimpi. Mimpi semata. Bunga tidur. Sebuah hayalan dalam tidur. Aku membuang napas. Miris. Baiklah.               
   Seemoga bukan cuma mimpi, tapi suatu hari nanti bisa bertemu dipertemuan yang abadi.











           Tangerang, 22 Desember 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

sometimes it's across my head

i'm afraid of time flying so fast  i'm afraid of what will happen in the future i'm afraid of the world not as good as i thought i'm afraid of life ahead more dims i'm afraid of anything that hasn't happened yet i just missed my childhood no pain no burden no anxious no more frightening the only happiness that exists have you ever hate being an adult? heve you ever cried because you are going to mature? heve you ever sad because you're you? while you want to come back to being a kid again? wondering how being an adult is sucked life is getting worse when you realized you're not you formerly i supposed that grow up is whole things full of happiness and new things became full of joy but you changed you are growing up you being you now there are new challenges there are lots of nano-nano you can't be supposed to i don't know i'm afraid -i

11:02, 3 Juli 2018

Aku teringat lagi prihal jarak; yang pernah membutakan ku dulu pada mu. Hai? Sekarang apa kabar? Senang rasanya perlahan sudah terbiasa untuk biasa saja. Tapi, aku akan lebih senang lagi jika semesta berencana untuk suatu pertemuan abadi. Hei, tapi lihat lah aku, tersenyum sendiri seperti orang bodoh disini. Membaca ulang pesan yang kau kirim mengenai suara ku akan lagu tersebut. 'hehehe gapapa, tapi bagus kok.' Eh, atau barangkali aku akan lebih dari sekedar senang jika suatu hari nanti 'hehehe' mu tergantikan oleh tawa renyah mu langsung di hadapan ku. Ah, semoga semesta membaca aksara-aksara ku ini. — Dari ku di Tangerang teruntuk yang di Timur pulau ini.