Skip to main content

antara maya dan nyata, perspektif kerdil, ketakutan di kepala dan lain-lainnya



“anak kecil!”

ucapmu kepadaku.


harapku, semoga.


sebab menjadi dewasa tak semanarik yang kudambakan saat kecil dahulu. pemikiran kerdil mengenai hal-hal yang akan mudah kulakukan saat dewasa, tak juga tunjukan nyata. hal-hal yang kuharapkan akan selalu mulus saat dewasa, nyatanya bak oase di tengah gurun yang menyisakan fatamorgana. rencana-rencana indah yang telah disusun mengenai bahagia dewasa, harus terbayarkan dengan mimpi buruk di realita. kembali menjadi anak kecil merupakan dambaan tiap-tiap orang dewasa yang hidupnya mulai dilanda banyak hal yang tak menyenangkan. beban hati, beban pikiran yang ditumpu kuat-kuat demi menjadi orang dewasa. harus berpura baik-baik saja saat sebenarnya ingin menangis dan berteriak. dipaksa tegar namun sebenernya sangat patah.


aku, si rapuh

aku, si penakut

aku, si pemikir berlebihan

aku, si cengeng

aku, si sensitif

aku, si memalukan


baru saja menilai sesuatu yang menampilkan perspektif baru yang telah membuatku bungkam. kiranya pradugaku perihal a, b, c dan d adalah yang terbenar. semua bisa salah, aku merasakannya. semula, aku yang banyak berkata, kemudian aku dibungkamnya. asumsi-asumsi yang kuyakini, terbalik dengan yang terjadi. 


“pemuda itu tak seperti yang kaupikir, Mama,” ucapku kepada Mama dengan air mata yang masih sanggup kubendung.


“kau tahu, aku yang hidup terlebih dahulu daripadamu. menyaksikan hal-hal serupa seperti kasusmu. jangan mengharapkan sesuatu dari pertemuan maya, karena mereka tidak nyata.” Ia mengotot saat mengucapkan kalimat terakhirnya.


aku diam, aku tak terima, dengan mudahnya mereka disimpulkan dengan konotasi negatif. hanya karena mereka tak menampilkan itu kepadamu, bukan berarti kaudapat menilai hal yang tak terlihat itu. aku tahu persis saat pemuda itu berkata hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan, hal-hal yang membuat bahagia melalui ketikan di layar hp, hal-hal yang membuatku yakin bahwa ini akan menjadi sungguhan. aku dipihak mereka, membela keberadaan mereka agar tak hanya sekedar basi-basi melalui ketikan yang dikirimkan tiap harinya.


dihadapkan oleh kenyataan bahwa pertemuan via maya memang selalu menampilkan sisi indah dan manis bagi yang mencicipnya. namun, seringkali melupakan sisi yang kutidakketahui. perihal apa yang terilihat di layar kaca tak serupa dengan realita. kau si penyair, akan mudah membuat rayuan manis melalui aksara-aksara yang kaususun hingga menciptakan tulisan indah yang dapat meluluhkan hati perempuanmu. kenyataannya, belum tentu hal itu kautujukan langsung kepadanya. belum tentu makna tulisanmu benar-benar untuknya. bukankah aku juga melupakan sisi itu. sisi buruk yang sebenarnya semua hal yang ada di obrolan maya bisa diatur, dipermulus, dibuat indah, dibuat seakan bisa dipercaya, dan disembunyikan dari kebenarannya.


perspektif baru yang kini kumengrti, memang ada banyak hal yang sebenarnya tak mengenakan tetapi bermaksud baik. mungkin tujuannya untuk menjauhi hal-hal yang maya, agar aku tak jatuh dalam pengharapan yang sifatnya tidak nyata, tidak ada eksistensinya, tidak ada tanggung jawabnya. apalagi ketika pada akhirnya mungkin aku terluka, siapa yang bisa disalahkan? pemuda maya itu? ah, bukan. diriku sendiri. melebarkan ekspektasi yang sudah sedari awal diwanti-wanti agar itu tak tumbuh. malah kini aku dipaksa menelan pahit-pahit pil kenyataan itu.


bodohnya aku, sudah tahu kejadian itu menimpaku berkali-kali tetapi tak menemukan kapok jua. yang salah tetap aku. memupuk harap hingga tinggi kepada sang pemuda yang berada di sebrang sana, yang belum menunjukan eksistensi yang nyata. harapan itu runtuh terlebih dahulu sebelum bertemu dengan wujudnya. ujungnya, kembali bersedih-sedih lagi.


“kau tak pernah tahu apa yang ada di pikiran dan hatinya, saat dia menuliskan kata-kata yang mampu membuat hatimu goyah. kau bukan peramal, kau tak bisa menebak itu. hal-hal yang maya memang nampak seolah nyata. lebih baik kau menemukan pemuda yang pasti di kehidupan nyata.”


Mama berkali-kali mengulang kalimat terakhirnya.  menemukan yang nyata, yang terlihat dengan mata, bukan layar kaca. namun, hati kecilku selalu mengatakan, bahwa yang maya akan menjadi nyata jika sudah waktunya. kau hanya perlu menunggu itu. semua berproses dan mempunyai waktunya masing-masing, bukan?


kau tahu? aku setiap malam aku menangis. menangisi hal-hal yang menurutku hidup ini tak seberuntung mereka. bahagia mereka telihat dengan mudah untuk didapat. aku selalu menangisi itu.


kenapa tidak ada yang nyata?

kenapa tidak ada yang benar-benar?

kenapa tidak ada yang menetap lebih lama dan selamanya?

kenapa tidak seberuntung mereka?


aku berdoa kepada tuhanku perihal hal-hal baik, perihal hal-hal yang membuat bahagia. namun, hingga saat ini air mataku saat malam sudah membuat jawaban perihal pintaku. aku paham, aku mengerti. pasti kauakan menjawab, “semua butuh waktu.” ya, aku tahu. tapi ... kapan?









Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

sometimes it's across my head

i'm afraid of time flying so fast  i'm afraid of what will happen in the future i'm afraid of the world not as good as i thought i'm afraid of life ahead more dims i'm afraid of anything that hasn't happened yet i just missed my childhood no pain no burden no anxious no more frightening the only happiness that exists have you ever hate being an adult? heve you ever cried because you are going to mature? heve you ever sad because you're you? while you want to come back to being a kid again? wondering how being an adult is sucked life is getting worse when you realized you're not you formerly i supposed that grow up is whole things full of happiness and new things became full of joy but you changed you are growing up you being you now there are new challenges there are lots of nano-nano you can't be supposed to i don't know i'm afraid -i

11:02, 3 Juli 2018

Aku teringat lagi prihal jarak; yang pernah membutakan ku dulu pada mu. Hai? Sekarang apa kabar? Senang rasanya perlahan sudah terbiasa untuk biasa saja. Tapi, aku akan lebih senang lagi jika semesta berencana untuk suatu pertemuan abadi. Hei, tapi lihat lah aku, tersenyum sendiri seperti orang bodoh disini. Membaca ulang pesan yang kau kirim mengenai suara ku akan lagu tersebut. 'hehehe gapapa, tapi bagus kok.' Eh, atau barangkali aku akan lebih dari sekedar senang jika suatu hari nanti 'hehehe' mu tergantikan oleh tawa renyah mu langsung di hadapan ku. Ah, semoga semesta membaca aksara-aksara ku ini. — Dari ku di Tangerang teruntuk yang di Timur pulau ini.