Bagian I : Warmindo dan Gelak Tawa Meja Nomor 7
Riuh tawa dari meja pojok membuat suasana ramai. Selepas kelas linguistik yang membuat gadis itu pusing tujuh keliling, ia ikut pergi bersama teman-temannya makan siang di Warmindo. Di meja nomor 7, ada Naila Khansa atau Caca biasa gadis itu disapa, sedang ramai-ramai bersama dua orang temannya menertawakan tragedi Emon di kelas.
“Kata gue gini,
Ca. Si Emon kok nggak datang-datang padahal minta di-book kursi kelas,”
seru pria berbadan besar sambil bercerita yang beberapa kali diiringi tawa
sekitar.
Caca sering
bercerita banyak hal kepadanya. Tino seperti psikolog bagi Caca. Tino pendengar
dan penasihat yang baik. Ia tempat curhat Caca. Tino tipikal teman yang asik
dan tidak hitung-hitungan terhadap temannya. Dia baik hati. Tapi sangat
menyebalkan. Sangat sangat!
Gadis itu
receh. Beberapa kali tertawa renyah sambil sakit perut akibat tertawa
mendengarkan Tino bercerita.
“Anjing gue
malu banget sial,” sahut pemuda kurus di sebelahnya. Emon, si pemuda stand
up yang sering membuat perut Caca sakit akibat tertawa. Walaupun namanya
Emon, nasibnya tidak sama seperti Bintang Emon. Nama aslinya Reymond Raihan.
“Ternyata dia
malah datang ke ruangan 507. Bangsat!”
Gadis itu sudah
terpingkal sambil memegangi perut. Wajahnya sudah tidak karuan saking gelinya.
“Demi Allah gua
malu banget, setan! Udah duduk dosennya datang, kata gue kok lain, bukan Pak
Setyo,” katanya bercerita dengan seru, “anjing, gue salah ruangan!”
Pemuda itu
bercerita dengan antusias dan seru, Caca sudah tak bisa dikontrol kondisi
wajahnya dan hampir menangis geli. Beberapa kali ini ingin nimbrung dan
menjawab cerita Tino, tapi udah nggak ketahan ingin ketawa. Apalagi mengingat
Emon tuh tipe orang yang cengo dan iya-iya saja.
“Ca, jangan
tawa mulu lo!”
“Gue ngakak
banget sial, Emon! Anjir ada-ada aja dah lo,” sahut Caca mulai mengontrol
tawanya yang mulai mereda.
“Tino anjing
emang! Nggak bilang di ruangan mana,” dumal Emon merasa kesal mengingat
kejadian tadi.
Bukan hal yang
mengherankan untuk Caca jika sudah bergabung dengan teman laki-lakinya, ia
sudah kenal dengan umpatan-umpatan yang berasal dari Tino dan Emon sehingga
kata-kata tersebut terdengar natural di telinga Caca.
Gadis receh itu
memang senang bila berada disekitar Tino dan Emon. Sifatnya yang friendly
membuat ia dapat dengan mudah berbaur dengan yang lain. Selain receh dan friendly,
Caca juga pribadi yang ceria. Maka, ia tak sedikit memiliki teman dan ia banyak
disukai orang-orang. Caca memang tidak mengikuti organisasi BEM di kampusnya,
tapi temannya banyak di sana. Sehingga Caca tidak merasa asing. Tidak banyak
kegiatan yang Caca ikuti di kampus, tapi naluri dalam mencari teman sangat
mudah. Sehingga banyak yang menenal Caca walau Caca tidak ikut terjun dalam
satu organisasi. Caca hanya mengikuti komunitas bercerita dan komunitas sastra.
Walau terdengar
bosan karena kegitannya tidak banyak, Caca suka mengikuti volunter acara-acara
di kampus yang sekiranya dapat mengisi waktu luangnya. Apalagi ia bisa mengikuti
banyak kegiatan jika sedang patah hati.
Katanya, upaya
meminimailisir rasa sakit, maka perbanyaklah mempersibukkan diri.
Namun, patah
hatinya kemarin tidak digunakkan untuk mempersibuk diri. Kali ini ia mau
merasakan emosi tersebut dengan benar-benar. Tidak mau melawan kesedihannya,
tetapi ia mau menerima apa yang terjadi. Sebab semakin dilawan, emosi tersebut
akan semakin lama menghilang. Maka, biar ia rasakan.
Hari ini Caca
dapat tertawa lepas, seakan lupa kalau tiga bulan yang lalu ia masih
nangis-nangis tiap malam mengingat Erik, mantan gebetannya yang berbeda kampus.
Atau bisa dibilang hubungan tanpa status.. atau teman dekat. Entah apa
istilahnya tapi hubungan Erik dengan Caca seperti hubungan kekasih. Mereka
sudah kenal selama satu tahun lebih. Sifat Erik yang friendly dan
terlalu ramah dengan perempuan, membuat alasan Caca akhirnya menyerah juga. Ia
cemburu, tapi tidak punya hak. Erik juga tidak wajar, seperti tidak memiliki
batasan terhadap perempuan lain, padahal sudah jelas-jelas malam itu ia bilang
hatinya untuk Caca. Caca terus bertahan hingga ia lelah dan memutuskan pergi.
Bukan pilihan yang salah. Tapi bukan hal yang mudah juga untuk Caca melalui
fase move on dari Erik.
Fase move on-nya
itu membuat Caca lebih sering menangis dan melamun. Kenangannya masih jelas
terputar. Hari-hari saat kuliah selesai, gadis itu suka mampir ke taman,
pinggir jalan, atau apapun jika melihat tempat yang sekiranya dapat menenangkan
hatinya. Hanya untuk sekadar duduk, melamun, memperhatian orang-orang sekitar.
Itu tiga bulan
yang lalu. Tapi tidak menutup kemungkinan juga kebiasaannya seperti itu menerus
hingga sekarang. Bedanya, kini rasanya ia sudah bener-benar berada di fase
penerimaan; yang mana jika ia mengingat Erik, tidak ada reaksi emosi apapun di
hatinya. Baik sedih, marah, senang. Biasa saja. Caca sudah berdamai dengan
dirinya sendiri dan masa lalunya.
Caca saat ini
sedang disibukkan dengan aktivitasnya menjadi mahasiswa sastra Indonesia
semester 6. Ia bukan termasuk mahasiwi aktif yang ikut organisasi, walau begitu
tiba-tiba kemunculannya di Instagram kampus sebagai juara dalam perlombaan yang
diikutinya membuat siapapun yang mengetahui pribadi Caca terkejut. Caca ini
tipe diam-diam menghanyutkan. Hanyut bersama prestasi-prestasinya.
Gadis berambut
sebahu dengan hidung bangir. Saat ia senyum, akan terlihat penampakan lesung
pipit di sebelah kiri. Caca itu cantik, cocok ikut putri muslimah, celutuk Emon
saat itu menyaksikan Caca menjadi model busana di Instagramnya. Giginya yang
rapi saat tersenyum membuat ia terlihat mirip seperti Vanesha Precilla atau
Milea-nya Dilan.
Gadis cantik
itu yang diam-diam mengukir prestasi itu lebih menghabiskan banyak kegiatannya
di rumah. 24/7 di dalam kamar. Caca sangat cinta di kamarnya. Ia belajar dengan
tekun pasca merosotnya nilai yang mengkhawatirkan beasiswanya akan dicabut.
Caca tidak mau itu terjadi. Maka upaya yang dilakukannya adalah dengan
sungguh-sungguh belajar dan tidak ingin mengecewakan orang terdekat.
Caca terlahir
bukan dari keluarga yang memiliki previlej. Ia lahir dari kalangan menengah.
Biasa saja. Tidak hedon dan mewah seperti Agnes temannya yang selebgram, tidak
seperti Dimas yang setiap tahun liburan bersama keluarganya ke luar negeri.
Caca hanya gadis ceria dan receh, si penghidup suasana. Tekadnya besar dalam dunia
pendidikan. Untuk bisa berkuliah di universitas nomor satu di Indonesia, Caca
merasa beruntung saja. Walau dibalik itu ada kerja keras yang harus ia bayar
selama sekolah.
Caca tak ingin
gagal. Ia ingin membanggakan orang-orang terdekatnya.
“Ca, gue ntar
malam sama anak sebelah mau nongki. Ikut nggak lo?” tanya Tino sambil melahap
indomienya yang kini tersisa setengah.
“Nggak akrab
gue,” balas Caca sambil meminum es jeruknya yang tinggal setengah.
“Ada gue anjir.
Ada Bang Reza juga, kenal kan lo?” tanya Tino menodong Caca.
Tino ingat saat
itu Caca pernah menyebutkan nama Bang Reza di tengah obrolan mereka, maka
dengan begitu Tino menyimpulkan Caca kenal dengan Bang Reza.
Caca melamun
sebentar, ia kenal persis Bang Reza. Senior yang ia suka saat itu. Bang Reza
juga kenal dengan Caca. Hubungan mereka saat itu hanya sekedar kebutuhan kuliah
saja menanyakan materi semester 5. Dan Bang Reza juga tidak pernah tahu Caca
mengangguminya. Caca hanya seorang secret admirer.
“Kenal,” Caca
diam sejenak. Pandangannya ia alihkan kepada Emon. “Lo nggak ikut, Mon?”
Emon
menggeleng. “Mau open mic.”
“Anjaaaaay!”
ucap Caca dan Tino sepontan.
Mengingat
pemuda ini memang sering melucu di depan teman-temannya, dan beberapa kali
teman-temannya yang lain menyuruh dia untuk mengikuti komunitas anak-anak stand
up kampus. Tapi, saat itu Emon memang masih belum siap. Ketika ia
menyebutkan akan open mic, Tino dan Caca terharu karena ia sudah berani
ingin mencoba. Sekaligus mencoba peruntungan, siapa tahu nasibnya mirip-mirip
Bintang Emon.
“Napa nggak
bilang, sat. Tahu gitu gue nggak pergi sama Bang Reza, buat nonton lo,” keluh
Tino merasa bersalah.
“Lebay anjing,”
kata Emon acuh. Ck, pemuda itu gengsinya tinggi. Padahal hatinya senang
mendengar ucapan Tino seperti itu.
“Apa gue nonton
lo aja, ya?” tanya Caca bingung.
“Ck, apa sih.
Nggak-nggak. Lo ikut aja sama Tino, gue malu kalau lo pada nonton. Lagian,
nanti bakal banyak anak stand up luar daerah,” balas Emon dengan wajah
acuh. Padahal Caca tahu betul Emon itu anaknya gengsian.
Kalau seperti
ini tidak bisa dibiarkan Emon open mic tanpa kehadiran salah satu orang temannya.
******
Bagian 2: Konsultasi dan Usaha Move On
Di perjalanan
Caca menuju rumah, di atas motor kesayangannya yang sedang malaju. Emon dan
Tino masih di kampus, aktivitas rutinnya nongkrong bareng senior. Belum terlalu
jauh dari kampus, handphone Caca berbunyi. Ada panggilan masuk dari
seseorang, gadis itu segera mengangkatnya.
Kak
Tiara incoming voice call..
“Halo, kenapa
kak?” tanya Caca sangat serius, khawatir terjadi sesuatu.
“Aku lagi di
tempat biasa, nih. Kamu di kampus nggak?”
“Ah, aku baru
aja pulang. Untung belum lewatin, nanti aku mampir, yaa,” jawab Caca ramah.
Gadis itu segera menutup telponnya dan melanjutkan perjalanannya menuju coffe
shop langganannya.
Tiara bagi Caca
seperti kakaknya. Usia yang selisih lima tahun membuat Caca merasa Tiara lebih
dewasa dan dapat mengerti dirinya. Permasalahan yang dialami juga lebih dahulu
Tiara, maka untuk obrolan deeptalk, maka Tiara tempat bercerita untuk
Caca. Tiara tinggal tidak jauh dari rumah Caca, selain itu tempat ia bekerja
kini juga tak jauh dari kampus Caca. Maka dari itu, apabila ada kesempatan,
keduanya akan mengunjungi coffe shop langganan mereka untuk bercerita
banyak hal. Di luar itu, Tiara pasti sibuk bekerja. Kalau ada waktu kosong di
antara keduanya kemudian ada event yang mendukung, biasanya mereka akan
pergi ke acara musik atau sekedar ngobrol-ngobrol di tempat kopi.
Gadis itu baru
sampai dan langusung memarkir motornya di halaman coffe shop. Karena
sudah biasa ke sini, sang barista langsung mengenal dan hafal pesanan milik
Caca.
“Hazelnut
ice dan roti bakar keju?” tanya sang barista yang kira-kira usianya hanya
selesih tiga dari Caca. Gadis itu melontarkan senyumnya tanda pesanannya sudah
betul. Sambil mengeluarkan uang, Caca menoleh ke kanan dan kiri mencari
keberadaan Tiara. Dia berada di outdoor ternyata.
“Aku di outdoor
meja nomor 5, ya, Mas. Makasih,” kata Caca sambil menyerahkan uang pas kepada
barista tersebut.
“Baik, nanti
diantar ya, Kak.”
Caca langsung
menghampiri Tiara yang sedang berkutat dengan laptopnya.
“Dor!” seru
Caca alih-alih mengageti.
“Nggak kaget
wleee,” balas Tiara melepas earphone sebelah kirinya.
“Ih, nyuruh aku
kesini tapi malah main laptop, nggak asik banget. Jadi ganggu kan akunya,”
rengek Caca seperti anak kecil.
“Udah selesai
aku, woo. Gimmick aja ini mah depan laptop,” balas Tiara santai.
Gadis berlesung
pipit itu mencari posisi duduk ternyamannya sambil meletakan tas di dekatnya.
Tak lama kemudian, seorang barista mengantarakan pesanan milik Caca dan
meletakannya dengan sopan.
“Makasih,” ucap
gadis itu dengan lembut.
Gadis itu
menyeruput pelan hazelnatnya, melamun sebentar melihat suasana di kanan
kirinya. Rasanya seperti …. kosong. Tapi, damai.
“How was
your life, btw?” todong Tiara tiba-tiba sambil menutup laptopnya dan
menatap gadis itu dengan serius dan membuat Caca menoleh.
“Nothing
special,” balas Caca seperti tak minat.
“Tapi aku lihat
kamu semenjak terakhir kita ketemu, umm… maybe 2 months ago, atau berapa
ya aku lupa. Kamu saat itu muram banget, kayak bunga nggak disiram dan kena
cahaya matahari,” goda Tiara membuat gadis itu akhirnya flashback ke
suasana dua bulan lalu. Ya, waktu ia sedang sedih-sedihnya.
“Hal yang baru
aku ketahui setelah sampai pada titik penerimaan adalah bahwa perasaan netral
membuatku mengerti dan menyadari banyak hal,” kata Caca dengan bijak, matanya
menatap lurus kedepan.
Entah sedang
melihat apa. Tiara tersenyum tipis, gadis itu cepat dewasanya. Ia masih diam,
menuggu kalimat selanjutnya dari Caca.
“Rasa sakit,
emosi seperti marah, sedih, akan mempengaruhi pikiran sehingga kalut dan nggak
bisa berpikir jernih.”
Tiara salut
tiap kali bertemu dengan gadis itu. Dari cerita ke cerita, ia selalu memiliki
sudut pandang yang berbeda dan dapat menerima terhadap apa yang terjadi. Dan
yang terpenting, gadis itu mau belajar dan memahami untuk kedepannya.
“Maka, jangan
pernah ambil keputusan apapun ketika sedih atau marah, right?” sahut
Tiara dengan tegas. Gadis itu mengangguk.
“Keputusanku
untuk pergi nggak pernah aku sesali kok. Awal-awal memang sulit, karena harus
beradaptasi dengan situasi yang nggak biasa. Tapi, kalau aku bertahan lebih
lama lagi, aku lebih sakit lagi,” kata Caca melanjutkan pembicarannya. Kamu
tuh punya pemikiran yang keren, Ca, tapi kenapa kamu selalu dapat yang nggak
tepat buat kamu, batin Tiara.
“So, I choose to let him go. Am I right?”
Tiara
mengangguk dan tersenyum dengan sangat manis, membenarkan ucapannya Caca.
“You right,
because you are worth it and deserve someone better who treats you right.”
“Kalau aku suka
kangen dan belum bisa lupa, wajar nggak, Kak?” tanya gadis itu dengan sendu.
Tiara
terbelalak mendapat pertanyaan itu. Ia senang mengobrol dengan Caca karena
gadis itu akan bertanya banyak hal kepadanya.
“It’s
normal. Karena memang kita nggak bisa lupa kepada seseorang seratus persen.
Aku selalu keingat. Not only soal relationship. Kalau aku punya
sahabat, dan dia pergi, aku nggak akan bisa lupa. Pasti kangen sama hal yang
udah dilaluin bareng,” jelas Tiara dengan lembut.
“Kamu cuma
kangen sama kenangannya, bukan orangnya.”
Kalimat
terakhir Tiara membuat gadis itu terbelalak. Apa iya? Kalau dipikir, kadang ada
waktu di mana ia teringat dan terlintas ketika melewati suatu tempat yang
pernah dikunjungi bersama. Seketika seperti ada film yang berputar kembali di
kepala, yaitu memori yang merekam kejadian saat itu. Gadis itu rindu saat jalan-jalan
keliling Jakarta di malam hari saat bersama Erik. Hal yang tak pernah mereka
lewati saat bertemu. Menyaksikan hiruk pikuk kota Jakarta, gemerlap malam
dengan kerlap-kerlip lampu di gedung-gedung pencakar langit. Di atas kendaran
yang melaju, mereka saring berbicara dan mengaggumi Jakarta di malam hari.
Cantik. Setelah capek berkeliling, biasanya mereka akan mampir untuk makan
Gultik di Blok M yang sudah langganan. Jadi ingat dahulu, saat pertama kali
Erik mengajaknya makan Gultik di Blok M.
“Kamu belum
pernah kan makan Gultik di Blok M?”
“Belom, BM aku
itu, udah dari lama.”
“Iya, aku
ingat. Ayo, kita makan di sana.”
“Aku nggak
pakai helm, nggak apa-apa?”
“Aman, kamu
berdoa yang banyak, yasin, tahlil.”
Caca memukul
bahu Erik.
Kalau diingat,
Caca benar-benat flashback dan mulai rindu.
Ya, benar. Caca
hanya rindu pada kenangan yang telah dilalui bersama.
Ah, Caca benci
situasi ini. Gadis itu mengalihkan pandangannya untuk mendistrak pikirannya
yang mulai tenggelam pada masa lalu.
“Tapi, kalau
kayak gitu, namanya belum bisa move on, ya?” tanya Caca pesmis dengan
nada lemas.
“Nope.
Definisi move on itu kan berpindah. Kadang, orang-orang misunderstanding
terhadap pengertian move on itu sendiri. Move on tidak selalu
pindah dari satu orang ke yang lain. Tapi, move on buat aku saat aku nggak lagi
stuck sama permasalahanku saat itu. Tapi, aku bisa dengan nyaman ngejalanin
aktivitas lain tanpa kepikran masalahku. Nggak nangis lagi kalau ingat masalah
itu, nggak marah lagi, nggak sakit lagi. Sederhananya, move on ketika
kamu udah nggak stuck pada satu permasalahan.”
Jawaban Tiara
membuat respon Caca jadi mengangguk. Gadis itu melamun dan berpikir untuk memahami
dirinya. Aku udah move on berarti, batinnya. Buktinya, Caca bisa menjalani
kuliah tanpa memikirkan Erik, saat nongkrong dengan Emon dan Tino sudah tidak
ada lagi lintasan kenangan Erik bersamanya. Atau, saat-saat ia menyendiri
sehabis pulang kuliah dan mampir ke taman. Pikiran tentang Erik tidak sedominan
dulu. Semuanya nampak sudah bisa ia terima.
“Hey, are you
ok?”
Tiara memecah
lamunan Caca dengan jentikkan jarinya. Caca langsung terbelalak dan mengalihkan
pandangannya ke yang lain. Sepertinya membahas masa lalu sekarang bukan hal
yang bagus di tengah-tengah usaha move on yang masih terus ia jalanani.
“Ngalamunnya
lama banget. Kayaknya kita ganti topik, deh. I wanna show something to you,”
ucap Tiara langsung menyambar handphonennya sedang mencari sesuatu.
“Apa?” tanya
Caca seperti tak minat.
“Aku udah nemu
filter yang dipakai Sehun waktu live Instagram,” celetuknya membuat Caca
bergegas mendekat ke Tiara.
“Demi apa, Kak?
Eh anjir sumpah, aku cari-cari yang mirip filter kayak gitu nggak ada. Kok nemu
aja sih??!” balas Caca sumringah dan antusias.
Filter atau
efek Instagram yang mereka bicarakan merupkan filter Instagram dengan simbol love
yang bisa muncul dekat kepala, selain itu filter tersebut bisa mengganti warna love
manjadi tiga varian warna, merah putih, hitam. Maka, hebohlah mereka berdua.
“Tuh! Aaaa lucu
banget!” ucap Tiara antusias.
“Kirim ke aku,
Kak. Please!” balas Caca tidak kalah antusias.
“Udah aku
kirim.”
“Ayo selfie,
Kak!”
Mereka pun ber-selfie
ria menggunakan filter love tersebut. Satu jepretan, dua jepretan, tiga,
empat, dua belas, delapan belas hingga bosan.
***
Bagian 3: Dijemput Reza, Open Mic Emon dan Ajakan Minggu Depan
Malamnya, Caca
sudah siap menunggu kabar Tino untuk menjemputnya. Beberapa kali sambil
merapikan rambutnya di depan cermin. Gadis ini melihat notif di handphone-nya,
tangannya langsung segera menyambar. Tapi, bukan pesan dari Tino yang ia
dapati, melainkan….
Bang
Reza: Ca, Tino nyuruh gue jemput lo. Otw,
yaaa
Matanya
terbelalak saat membaca pesan dari Reza.
“Anjing!” umpat
gadis itu spontan.
Caca tidak
pernah punya pikiran Reza akan datang untuk menjemputnya. Dalam hal apapun.
Karena hubungan mereka yang memang tidak terlalu akrab, jadi Caca melihat tidak
ada kemungkinan yang terjadi untuk bisa ngobrol atau bahkan dijemput seperti
sekarang ini.
Gadis itu membeku.
Walaupun sudah
beberapa tahun berlalu, Caca masih menganggumi Reza. Siapa yang tidak kagum,
pemuda itu atlet di kampusnya yang sering juara dalam pertandingan basket.
Belum lagi beberapa acara diketuai olehnya. Apalagi? Ketua umum himpunan
mahasiswa jurusan dan mantan wakil ketua pada organisasi daerah. Wah, gokil.
Caca tahu pemuda itu tak sedikit mengukir prestasi di kampus, ditambah
kemampuan bersosialisasinya tinggi, sehingga dengan amat mudah ia mendapat
teman dan disukai banyak orang.
“Tapi, sebentar…
Emang Bang Reza tahu rumah gue?” batin gadis itu bertanya.
Caca: Lo tahu rumah gue bang?
No replied.
“Kalau nyasar
gimana, anjir!” gadis itu segera mencari kontak Tino dan mengirimkannya pesan.
WhatsApp
Caca: Tino anjing
Caca:
Ini bang Reza jmput gue
Caca:
Gimana dag
Caca:
Emg dia tau rumah gue??
Gadis itu
menarik napas, agak cemas menunggu balasan Tino dan Reza. Tapi seperti ada
sensai yang berbeda. Rasanya, Caca sudah lama sekali tidak berada di posisi
dan suasana seperti ini. Sakit perut tanpa alasan, cemas dan canggung. Huh, apa
ini karena first time dijemput Reza?
Pesan masuk di handphone
menujukkan nama Reza di sana. Pemuda itu mengirim pap.
Bang
Reza: *sent a photo*
Bang
Reza: Gue di sini Ca
Caca menepuk
dahi. Mampus. Reza tahu betulan rumah Caca. Tapi, pemuda itu tahu dari mana?
Tanpa berpikir
lama Caca langsung pergi menghampiri.
“Bu, aku pergi,
ya. Dah dijemput di depan,” kata Caca kepada Ibunya yang sedang nyantai.
“Kok nggak
disuruh masuk temannya?”
“Ini bukan
teman aku, Bu.”
Gadis itu sudah
hilang dari pandangan ibunya. Hadeh. Kenapa Caca jadi nervous gini?
Gadis itu
berjalan kedepan sebentar. Reza memberikan pap tidak jauh dari rumahnya, Caca
tahu ia di mana. Tak lama, gadis itu langsung mengenali motor milik Reza
terpampang di sana. Motor yang sering dipinjam Tino kalau kemana-mana. Cih,
Tino nggak modal. Pemuda itu mengenakan flannel kotak-kotaknya yang tidak
dikancingi dan membiarkan kaos putihnya terlihat. Jarak Caca dan Reza semakin
mendekat dan pemuda itu tersenyum ke arah Caca.
“Sorry,
kalo lo kaget gue yang jemput lo. Tino nggak bisa jemput karena lagi ada
urusan,” ucap Reza sopan. Caca sering lihat pemuda ini ketika orasi, suaranya
tegas dan lantang. Baru kali ini ia mendengarkan suara Reza yang lembut dan
sopan begini.
“Nggak apa-apa,
Bang. Sorry, gua yang jadi nggak enak ngerepotin lo,” balas Caca agak
canggung. Karena ini first time Caca dijemput dan bisa ngobrol face
to face dengan Reza, idola Caca.
“Santai, Ca.
Yuk, naik.” Pemuda itu memberi aba-aba untuk segera bersiap naik.
Di perjalanan
yang terasa canggung, bukan Caca namanya kalau tidak bisa mencairkan suasana.
“Bang, kok tau
rumah gue?” tanya Caca penasaran.
“Tino. Gue
pernah ke rumah lo sama Tino. Waktu nganterin apa gitu, lupa,” jawabnya santai.
Caca diam dan
mulai menebak-nebak waktu Tino datang ke rumahnya. Ynag Caca ingat, malam itu
Tino datang sendirian untuk mengembalikan power bank Caca yang
tertinggal padanya. Tapi, ia tidak melihat ada Reza.
“Seingat gue
Tino sendiri malam itu, waktu dia ngantar power bank,” kata Caca
lupa-lupa ingat.
“Ada gue,
nunggu di motor,” jawab Reza pasti.
Caca langsung
mengangguk paham. Pantas saja ia tidak meminta Caca untuk shareloc.
“Lo sering main
sama Tino?” tanya Caca membuat gadis itu terkejut.
“Sering, lo juga?”
“Hah?”
“Lo juga sering
main?”
“Iya, tapi kok
baru kali ini gue liat lo, ya.”
“Gue juga baru
tau lo sering main sama Tino.”
Hah kenapa Caca
benar-benar jadi nervous gini?
Selama di
perjalanan mereka terus mengobrol, sesekali Reza menyeletuk lucu yang dapat
membuat Caca tertawa. Gadis itu memang kelemahannya adalah topik lucu pasti
gampang dibuat ngakak.
“Lo receh
banget, Ca. Lucu lagi,” celetuk Reza membuat respon gadis itu jadi mematung.
Seperti ada
yang aneh, ada sensasi yang ia rindukan. Yaitu sensasi naik motor dengan Erik. Dahulu,
saat jalan-jalan di atas kendaran Erik yang sedang melaju, beberapa kali pemuda
itu menggodanya dan membuat Caca tersenyum malu. Tapi, kali ini bukan Erik
orangnya dan rasanya beda. Asing. Seberapa jauh pun jarak yang ditempuh, jika
orangnya adalah Erik, maka perjalanan akan terasa menyenangkan dan nyaman.
Tapi, jika orang baru, Caca merasa asing. Caca tidak suka sensasi dan perasaan
ini. Caca tidak suka hal-hal baru. Caca yang receh, memang sering jadi sasaran
empuk Erik untuk membuatnya tertawa. Seperti saat itu saat keduanya sama-sama
mengunjungi Carrefour. Mereka mengelilingi semua rak yang berisi makanan dan
minuman, pandangan mereka teralih kepada mie rasa keju dengan level satu sampai
tiga. Setelahnya mereka melintasi rak-rak berisi kuaci.
“Ca, ini hari
apa?” tanya Erik tiba-tiba.
“Sabtu kan?”
Caca bertanya balik memastikan jawabannya tidak salah.
“Salah, Rebo,”
jawab Erik menunjuk kuaci bermerk Rebo itu. Caca tertawa ngakak sambil memukul
bahunya beberapa kali.
“Kamu tahu
nggak, komika yang baru keluar rehab?” tanyanya lagi tiba-tiba.
“Siapa?” tanya
Caca sambil mengernyit.
“Choki,
yhaaaa,” kata Erik menunjuk makanan coklat bermerk Choki-Choki. Lagi-lagi gadis
itu tertawa sampai sakit perut dan mencubit lengan Erik dengan gemas.
“Rik, aku
tampol ya!” ancamnya sambil tertawa kecil.
“Aw, sakit,
Ca.”
Kini rasanya
berbeda dan asing. Caca belum merasakan kenymanan saat berada di dekat orang
baru. Sejauh ini, belum ada yang bisa menggantikan Erik.
Saat Caca
menoleh ke kiri kanan, mencoba mengenali jalan yang sedang dituju. Caca seperti
tak asing.
“Bang, ini kok
kayak jalanan ke tempat open mic anak stand up?” tanya Caca heran,
batinnya tak salah. Pasti benar.
“Iya, emang di
sini kan,” katanya santai.
Kenapa Tino nggak
bilang kalau mau nonton Emon, sih. Atau jangan-jangan ini surprise?
Setelah sampai,
benar saja. Tempat kopi itu sudah dipenuhi orang-orang yang ingin menonton stand-up
comedy. Beberapa di antaranya, ada senior yang Caca kenal. Temannya teman.
Dan ada Emon juga yang sedang duduk di kursi paling depan. Saking ramainya,
Tino pun tidak terlihat di mata Caca.
Setelah
memarkirkan motor, kedua menghampiri tempat kopi tersebut yang sudah ramai
dikunjungi. Dari jauh, Caca dapat melihat tubuh bongsor yang sedang duduk di
tengah-tengah kerumunan. Ada Tino yang tertawa terbahak bersama lawan
bicaranya.
“Ayo, kesana,”
kata Reza menunjuk ke arah Tino dan yang lain. Keduanya menghampiri. Rasanya
sudah lama Caca tidak kesini. Terakhir saat ia menonton acara stand up
seniornya. Itu pun setengah tahun yang lalu. Tapi, bisa jadi setelah Emon open
mic dan resmi masuk komunitas stand up kampus, Caca akan
sering-sering datang ke sini.
“Tuh, Bang
Reza. Sama siapa?” celetuk seseorang di sebelah Tino saat Caca dan Reza kian
mendekat, membuat pemuda itu yang menjawab pertanyaan temannya.
“Caca, temen
gue,” jawab Tino pada temannya. Gadis itu mendengar percakapan keduanya.
“Ca, kenalin
teman gue, Bagus sama Dapong,” kata Tino memperkenalkan dua teman di sebelahnya.
“Halo, Caca,”
jawab gadis itu ramah menyalami temannya Tino.
“Bang Reza
nggak?” celetuk salah satu temannya Tino, Bagus.
“Udah kenal,”
lagi-lagi Tino yang menjawab.
Ck, Tino jadi
merasa bersalah ngajak Caca ke teman-temannya seperti ini, takut gadis itu
merasa tidak nyaman.
“No, aman ye,
temen lo,” kata Reza basi-basi kepada Tino, sambil memberi sinyal kepada gadis
itu. Caca belum bisa berkomentar apa-apa. Gadis itu kikuk.
Reza segera
mengambil posisi duduk di sebelah temannya Tino. Caca mengambil posisi duduk di
sebalah Tino. Ramai sekali. Caca takut hilang dan harus dekat selalu dengan
Tino. Total pemuda dihadapannya ada empat orang; Bang Reza, Tino, dan dua orang
temannya. Caca menoleh ke kiri dan ke kanan. Pengunjung semakin ramai.
Perasaan, saat terakhir kalo ia kesini tidak seramai ini. Jumlah laki-laki yang
datang kesini lebih banyak daripada perempuan. Seperti tujuh puluh banding tiga
puluh.
“Emon tahu kita
ke sini?” tanya Caca sambil mencolek lengan Tino.
“Nggak, sengaja.
Bocahnya gengsian banget,” jawab Tino santai.
“Lo harus lebih
peka lagi temanan sama dia,” balas Caca sambil mulai memainkan hapenya.
Selanjutnya
gadis itu jadi kikuk sendiri melihat pemuda di depannya asik mengobrol.
Tiba-tiba temannya Tino menodong dirinya dengan pertanyaan.
“Lo yang masuk
Instagram kampus itu bukan, sih? Temannya Alin, kan?” pertanyaan Bagus membuat
gadis itu menoleh.
“Nggak muat
dong gue masuk Instagram,” jawabnya sambil tersenyum.
“Et, maksudnya
foto lo ada di feeds Instagram kampus,” ralat Bagus ikut tertawa kecil.
“Jangan
didengerin anjing si Caca becanda mulu,” sahut Tino dari tempat duduknya.
“Dih, kenapa
lo?” balas Caca dengan wajah meledek. “Iya, gue temennya Alin juga. Lo anak
teknik, kan ya?”
Pemuda itu
mengangguk. Selanjutnya pertanyaan lain datang dari Reza. “Ca, lo nggak mau
nyambi jadi komika juga?
Gadis itu
mengernyit, “Kenapa emang?”
“Ngelawak mulu
lo di jalan, lucu,” kata Reza sambil menghisap rokoknya. Caca menganga. Tino
dan dua orang temannya juga kaget mendengar kalimat yang diucapkan Reza.
“Eh, apa nih
maksudnya?” sambar Tino mulai ikut membakar rokoknya.
“Eh, eh,
ehhhh…” sahut ramai-ramai dua orang temannya.
Caca masih
mematung dan bibirnya tersenyum tipis.
Tak lama
setelah itu, MC sudah mulai membuka acara. Ia menyebutkan urutan peserta open
mic yang hadir malam ini dan Emon yang akan open mic pertama. Tepuk
tangan penonton membuat riuh suasana. Di depan, ada sosok Emon yang sedang
berdiri. Gelagatnya Caca bisa mengenali gelagat Emon ketika gugup. Caca ingin
tertawa, tetapi merasa bangga juga.
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh! Selamat malam semua, gua Emon tapi nasibnya
nggak kayak Bintang Emon, waduh,” katanya sambil tertawa kecil dan diikuti
jawaban samalam dan juga tawa dari penonton.
Yang Caca lihat
penampilan Emon di awal banyak gugupnya, namun di pertengahan pemuda itu
seperti sudah bisa menguasi materi dan panggung. Caca dan Tino merasa bangga
dengan temannya ini. Emon tipikal yang gengsian dan perlu dorongan. Tino tahu
persis yang saat ini sedang ia lakukan merupakan mimpinya Emon sudah dari dulu.
Caca juga tahu Emon tuh tipikal yang nggak bisa mengekspresikan sesuatu. Emon
tidak tahu kedua temannya ini sedang menontonnya. Selama penampilan Emon
berlangsung, gelak tawa dari penonton merupakan bentuk ungkapan syukur teman-temannya.
Saat penampilannya selesai, Caca dan Tino spontan memerikan applause
yang membuat Emon melirik ke arah mereka.
Pemuda itu
tersenyum lebar sambil mengumpat, “Anjing Tino, Caca.”
Pemuda itu
langsung menghampiri meja Tino dan Caca berada, dengan senyum sumringahnya dan
disambut tepuk tangan yang antusias dari teman-temannya.
“Gokil, keren
banget nyet!” kata Tino heboh.
“Tau gitu dari
dulu lo ikut stand up aja Mon,” sahut Dapong, si pendiam.
“Emon keren
banget, bangga ih,” ucap Caca sok menggemaskan.
“Gausah gimmick
lo anjing, Ca,” balas Emon tersipu malu.
Caca tertawa
kecil, si gengsian Emon tuh.
Pemuda di depan
Caca dengan serius menatap Caca sambil beberapa kali mendengarkan Emon yang
bercerita pengalamannya malam ini. Riuh tawa mereka malam itu membuat malam
Caca tidak sesepi malam biasanya. Bahkan, di saat seperti ini Caca merasa
baik-baik saja. Tidak adalagi soal Erik yang terlintas di kepalanya. Caca
seakan sudah benar-benar sembuh akan lukanya.
Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah dua belas malam. Tino beberapa kali melihat jam tangannya dan
melihat ke arah Caca.
“Ca, pulang
anjir lo, udah jam segini,” tegur Tino pada gadis itu.
“Santai sih, posesif
banget,” jawab gadis itu cuek.
“Diomelin Ibu
lo, jir,” kekehnya pada Caca.
“Ayo,” jawab Bang
Reza sambil bergegas berdiri.
Emon menoleh,
“Tadi Caca pergi sama lo, Bang?”
Sambil
mematikan rokoknya Reza mengangguk. “Harus professional dan tanggung jawab,
Mon, dalam hal apapun. Termasuk mulangin perempuan.”
Emon mengangguk
dan menyeringai. Si paling professional. Entah, Emon dari dulu kurang suka
dengan Reza. Apalagi semenjak dirinya terpilih menjadi ketua umum. Namun,
berbanding terbalik dengan Caca. Gadis itu sangat mengaggumi Reza.
“Ck, ngeles
mulu lo, Bang. Dah, anterin sana,” celetuk Bagus dari tempatnya.
Gadis itu tak
bisa berkomentar apa-apa, dan segera pamit dengan yang lain dan menyusul
langkah Reza yang mulai menjauh. Di perjalanan pulang, lagi-lagi Caca merasa
asing. Ia tidak banyak bicara sehingga Reza menyadari gadis itu diam saja.
“Ngantuk, ya,
Ca? Nggak apa-apa tidur aja, kalau udah sampai gue bangunin,” kata Reza membuat
gadis itu merubah posisi duduknya.
“Nggak kok,
heheh.”
Selanjutnya
obrolan mereka memanjang kembali dan tawa receh Caca yang membuat Reza ikut
tertawa. Hingga tidak terasa perjalanan mereka telah sampai di depan rumah
Caca. Caca mengakhiri obrolannya dan segera turun dari motor Reza. Sebelum
melangkah masuk ke rumah, gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Reza.
“Makasih banyak
ya, Bang. Sorry, kalau ngerepotin,” kata Caca sambil tersenyum.
“Nggak kok,
aman,” balas Reza pelan.
“Gue masuk ya,
Bang.”
Reza mengangguk
mengiyakan. Pemuda itu seperti mengurungkan niatnya, tetapi tidak bisa.
“Ca,”
panggilnya membuat gadis itu menoleh.
“Iya, kenapa,
Bang? Ada yang ketinggalan?”
“Oh, enggak.
Eum…” pemuda itu menjeda ucapannya membuat Caca menunggu.
“Minggu depan
ada acara nggak?”
****
Bagian 4: Insiden Salah Kirim dan Kenalan
Hari itu langit tidak terlalu panas tidak terlalu mendung juga. Kegiatan Caca di kampus sudah selesai, tinggal pulang ke rumah saja. Hari ini Tino dan Emon sedang ada urusan terkait organsisasi univerisitas yang mengharuskan mereka libur bertemu Caca hari ini. Tino dan Emon itu seperti Giant dan Suneo di film Doraemon dan Sizuka-nya adalah Caca. Outfit gadis itu hari ini terinspirasi dari outfit of the day yang digunakan selebgram favoritnya dengan menggunakan kulot jeans high waist dan blouse ala-ala Korea warna hitam serta sneakers putih yang bertengger selalu di kakinya plus totebag cream kesayangan Caca. Rambutnya sengaja digerai menampilkan ala-ala model iklan sangat angin bertiup. Perfect!
Caca duduk sebentar di kursi depan perpustakaan kampus. Seperti ada yang mengganjal saat buka WhatsApp dan membaca nama Kak Tiara. Tapi, apa ya? Gadis itu mencoba mengingat terakhir kali saat ia bertemu Tiara di coffe shop langganannya.
“Foto, anjir!” gumam gadis itu ketika mengingat foto selfie saat di coffe shop belum dikirimi ke Caca.
WhatsApp
Caca: Kak Tiara kirim poto wkt di tempat ngopi
Caca: Semuanya y
Hari ini masih terlalu pagi untuk pulang ke rumah, Caca gabut sekarang. Namun, gadis itu ingat di dekat kampusnya ada tempat ngopi bernuansa piknik. Katanya, pengunjung bisa merasakan suasana ngopi di taman. Wah, sempurna. Pasti tempat tersebut bakal jadi kesukaan Caca. Berbekal ke sok tahuannya dan keberaniannya, gadis itu mulai men-search lokasi caffe kebun itu berada.
“Kayaknya gue pernah lewat deh, kayak nggak asing.”
Gadis itu men-zoom detail lokasinya dan menyadari.
“Ah, iya. Pernah lewat,”
Caca bergegas menunju pakiran untuk menunju ke caffe kebun menggunakan motornya. Sejak melalui masa-masa patah hati pasca kepergian Erik, gadis itu lebih nyaman pergi-pergian sendiri. Entah ngopi sendirian, entah ke taman sendirian, atau bahkan cuma duduk dipinggir jalan sendirian. Aktivitas tersebut nyatanya berlanjut hingga sekarang. Di perjalanan, gadis itu mengingat kembali kejadian malam itu setelah pulang dari open mic Emon. Reza mengajak untuk ngopi santai di coffe shop. Sebuah ajakan yang luar biasa Caca tidak pernah terpikiran sebelumnya. Gadis itu mengiyakan dan mereka pergi ke coffe shop langganan Caca, sebab pemuda itu nanya dirinya biasa ngopi di mana.
Kalau kemarin tidak banyak moment Caca mengobrol dengan Reza, malam itu sesuai rencana pemuda jangkung bertubuh kekar. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol, bahkan Caca tidak pernah mendapati Reza menyentuh handphone-nya jika sedang dalam pembicaraan. Yang Caca ingat, ia hanya memegang sekali, itupun gara-gara mengirim pap dan meminta izin ke Caca untuk memfoto dirinya. Sisanya, Caca seperti mendengarkan speech Reza ketika sambutan dan narasumber acara. Seperti mimpi. Apalagi saat Reza mengatakan sebuah kalimat di depan dirinya dengan lantang.
“Lo asik deh, Ca. Lucu lagi.”
Poin plus yang Caca bisa soroti dari Reza adalah dia asik dan ramah, seperti dirinya.
Gadis itu sudah sampai di caffe kebun dan langsung masuk ke dalam caffe. Kesan pertama yang ada di pikiran Caca, tempat ini adem. Caca suka nuansa pohon-pohon yang mengitari lokasi. Ada bunga-bunga yang tumbuh di sekitaran caffe, bunga yang warna-warni. Gadis itu memasan hazelnut kesukaannya dan kali ini pancake karena roti bakar favoritnya hanya tersedia di caffe shop langganannya. Caca memilih meja yang dekat dengan bunga-bunga cantik yang sedang bertengger. Mancari posisi duduk yang Nyman sambil mengeluarkan handphone-nya. Ada pesan masuk di sana.
WhatsApp
Kak Tiara: Udah aku kirim yak
Caca melongo, “Hah? Ngga ada foto apa-apa.” Ia segera membalas pesan Kak Tiara.
Caca: Kak Tir, ngga ada potonya
Gadis yang sedang hectic bekerja di sebarang sana, baru menyadari setelah membaca balasan dari Caca, bahwa foto yang ia kirim tidak sampai padanya. Lah, terus tadi dia kirim ke siapa?
“Anjir, salah kirim ke Bang Dimas,” gerutu Tiara merasa bodoh.
WhatsApp
Bang Dimas: Lo ngirim apaan anjir Tir
Bang Dimas: Ngakak
Bang Dimas: Btw hai temannya Tiara
Bang Dimas: Kenalin Tir
Tiara menepuk dahi, beul saja salah kirim. Pasti ini gara-gara tadi saat ia kesibukkan bekerja dan hilangnya konsetrasi yang membuat perempuan itu salah kirim.
Tiara: Bang sorry hahahahah salah kirim
Tiara: Wwkwkwk malu bgt anjir
Tiara: Yeu modus lo mah
Beberapa kali Tiara menepuk dahinya. Yang menjadi permasalahan adalah foto tersebut tidak hanya satu dua saja, tetapi tujuh puluh tiga. Tiara malu sendiri. Apalagi Dimas merupakan teman pacarnya Tiara sekaligus seniornya saat di kampus dahulu. Walaupun mereka akrab tapi tetep saja, ini kelalaian Tiara dan khawatir Dimas tidak nyaman. Buru-buru ia me-WhatsApp Caca.
Kak Tiara: *sent 73 photos*
Kak Tiara: Ca, salah kirim ke seniorku hahahaha malu
Kak Tiara: Orangnya malah pengen kenalan sm kamu
Di caffe kebun, gadis itu menerima pesanan yang diantar dengan sopan dan mulai menyeruput hazelnut kesukannya. Jarinya mengetikan sesuatu di sana.
Caca: Hahahah thanks Kak Tir
Caca: Pokus atuh Kak
Caca: *sent a photo*
Caca: Ngopi
Caca: Siapa tuh
Tiba-tiba notifikasi handphone Caca mmebuat pandangan gadis itu teralih. Apa jangan-jangan secepat itu temannya Tiara menghubungi Caca? Caca membaca pesan yang terpampang di layar.
Tino: Dmn lo sat?
***
Bagian 6: Voice Note, Panggilan Masuk dan Obrolan Larut Malam
Hari-hari bejalan seperti biasa, Caca ke kampus untuk kuliah pulangnya main sama Tino dan Emon. Menunju Ujian Akhir Semester, kampus Caca sedang mengadakan minggu tekun yang mengharuskan mereka tidak melaksanakan kelas tatap muka. Kini, gadis itu semakin jarang keluar kalau tidak disamper Emon atau Tino. Apalagi jarak rumah mereka memang terbilang tidak dekat. Tapi dengan adanya minggu tekun yang mengharuskan Caca di rumah membutanya ia senang karena hitung-hitung charge energi.
Gadis berambut sebahu itu benar-benar seharian di kamar. Bukannya belajar malah sedang marathon menyelesaikan series Netflix. Setelah menonton tiga episode, ada hal yang baru Caca sadari bahwa nonton film merupakan salah satu bentuk upaya meminimalisir masalah hidup. Kenapa Caca baru kenal hobi ini baru-baru ini dan hobi ini kenapa semengasyikkan ini. Gadis itu biasa menonton film dengan genre komedi romens, tiba-tiba ingin keluar dari zona nyaman dengan menonton film yang agak sedikit gory.
Sebulan berlalu begitu cepat, dan kini sudah mau memasuki minggu UAS. Sambil menonton film, pikirannya mengingat kejadian kebelakang. Reza masih suka menghubunginya dengan intens walau ia tahu pasti pemuda itu kadang sampai lupa membalas chatnya karena sedang sibuk di organisasi. Tapi, saat bersama Reza, kenapa rasanya beda? Perasaan yang tidak biasa Caca rasakan dan bukan perasaan yang familiar. Caca nggak nyaman. Pikiran tentang Erik juga tidak terlalu menghantui Caca. Gadis itu sudah tidak menangis lagi. Caca benar-benar sudah move on. Tiba-tiba pikirannya terdistrek.
“Argh, kok malah mikirin itu sih, jadi nggak fokus,” gumamnya sambil mem-pause film tersebut. Gadis itu meraih handphonenya dan menemukan satu pesan dengan nama yang tidak terdaftar di kontak Caca.
WhatsApp
Dimas Baskara P: Hai, salam kenal, aku temannya Tiara
Gadis ini malah salah fokus kepada huruf P di belakang namanya.
“P apaan anjir. Ping? Hahahahah,” katanya sambil tertawa.
Gadis itu mengklik foto profil pemuda yang terpampang. Hmm, orang baru lagi, batinnya.
Semenjak hubungannya terakhir dengan Erik, Caca seperti tak minat untuk dekat dengan orang baru. Sudah teralalu banyak orang datang dan pergi. Yang datang hanya karena penasaran, maka sekringkali Caca tidak menyimpan nomor orang-orang tersebut. Menurutnya, jika suatu hari nanti hanya sebatas menjadi penonton story, untuk apa? Hanya memperbanyak kontak saja. Caca mau memfilterisasi orang-orang yang memiliki impact kepada Caca atau tidak. Maka biasanya sebagai defence mechanism, Caca tidak akan menyimpan nomor mereka. Karena ia yakin, pada akhirnya mereka tidak akan terus berkomunikasi. Untuk apa?
Dahulu awal-awal Caca dihubungi Reza karena keperluan organisasi dan perkuliahan yang lain. Nomornya Caca tidak save, karena Caca tahu komunikasi jenis seperti ini tidak akan berlangsung lama dan jika di-save pun hanya kan menjadi sebatas penonton story. Caca sudah hafal. Mungkin Reza merasa saat itu nomor WhatsApp-nya tidak Caca save, sehingga pemuda itu protes melalui direct message Instagram membuat Caca tidak enak ketahuan begitu. Akhirnya, gadis itu men-save nomor Reza hingga saat ini.
Gadis itu menarik napas dengan berat, sudah siap jika overthinking-nya betulan kenyataan.
Caca: Halo, salam kenal
Tak lama pemuda itu membalas, percakapan mereka panjang di hari itu. Bertanya darimana Dimas mengenal Tiara dan sebaliknya, bertanya mengenai kegiatan satu sama lain. Ya, basic questions sebagai perkenalan. Dan menurut Caca, ini membosankan karena harus memulai kembali perkenalan dari nol. Terlalu jauh untuk memulai kembali dan rasanya malas.
Dimas Baskara P. : Aku beda setahun sama Tiara, dia juniorku
Dimas Baskara P. : Pacarnya dia teman kelasku
Dimas Baskara P. : Kesibukannya apa Ca?
Caca mengangguk paham dan jarinya mengetikkan sesuatu.
Caca: Oalah kirain seangkatan
Caca: Lagi sibuk kuliah smt 6 niy
Caca: Sendiri lagi sibuk apa bang
Caca: Eh manggilnya bang apa kak y
Hah gadis itu lupa kalau sedang menonton film. Buru-buru iya close sebab sudah tidak mood. Kalau libur seperti ini, Caca bosan juga. Walaupun ia sangat cinta dengan kamarnya nyatanya masih tetap rindu keluar juga. Sehari berada di rumah akibat minggu tekun memebuat Caca merasa waktu cepat berlalu. Esoknya, tidak ada pesan apapun dari pemuda itu. Kan. Caca sudah bilang di awal, komunikasi karena penasaran maka obrolan tidak akan memanjang. Jadi, jangan berharap kepada orang-orang seperti itu.
Hari berjalan, sepanjang hari Caca hanya ingin menamatkan series yang saat ini sedang ia tonton. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Katanya, satu episode lagi baru tidur. Nyatanya sampai jam segini belum tidur juga.
“Anjir, ini ending-nya siapa yang mati, ya?” gumamnya menerka-nerka sendiri sambil terlengkup mengahadap serius menatap layar laptopnya. Tiba-tiba dering handphone-nya membuat gadis itu reflek melihat layar. Ada panggilan masuk dari Reza, ia segera mengangkatnya.
“Halo, Bang?” tanya Caca pelan. “Ah, nggak. Lagi santai kok.”
Selanjutnya Caca mulai menyahuti obrolan dengan Reza dan mengabaikan series yang sedang ditontonnya.
“Iya, setuju. Menurut gue, di era komunikasi gini, skill software penting juga sih. Apa ya.. relevan gitu. Jadi skill editing video, pembuatan poster bakal dibutuhin banget,” kata gadis itu merubah posisi duduknya jadi menegak dan merubah intonasinya jadi serius.
“Yup, betul. Jurusan yang sedang ditekuni sekarang bukan berarti menutup kemungkinan buat bisa belajar di bidang lain, kan. Kayak gue misalnya, sastra but I love to talk to. How I overcame with that? Cari komunitas radio, nanti bakal belajar di sana.”
Gadis ini memang luar biasa. Dari ucapanya yang mengkhawatirkan ending series kini tiba-tiba seperti berubah peran menjadi narasumber seminar. Obrolan mereka masih terus berlanjut hingga pukul satu malam. Tatapan gadis itu teralih kepada pesan masuk dari seeorang.
Dimas Baskara P. : Ca
Dimas Baskara P. : Dah tidur blum?
Tumben, tanpa lama, gadis itu langsung membalas.
Caca: Belum
Caca: Kenapa bang?
Sambil mengobrol seru dengan Reza, gadis itu beberapa kali masih men-scroll Instagram. Reza sangat seru untuk diajak diskusi. Memang tidak salah Caca menanggumi sosoknya saat berada di acara-acara yang membuat dirinya berkharisma.
2 New Messages
Dimas Baskara P. : Knapa belum tidur hei
Dimas Baskara P. : Ovt kah?
Lima menit Caca tak membalas pesannya sebab keasyikan mengobrol dengan Reza. Caca suka Cara berpikir dan cara berbicara pemuda itu. Persis tipe Caca banget.
Dimas Baskara P. : Km udah tidur?
Caca merasa tak enak dan segera membalas.
Ngga apa apa bang hehehehhe
Caca : Amannn
Caca : Sedikit lagi tidurrr
Caca : Kok belum tidur bang?
Gadis itu menyadari sudah terlalu larut untuk menobrol dengan Reza. Caca meinta izin untuk menyudahi panggilan telponnya dan segera bergegas tidur.
“Daa, see you!”
Gadis itu mulai mempersiapkan diri untuk segera tidur. Kantuk di matanya sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia membaca pesan dan membalasa ingin memberitahu bahwa dirinya ingin tidur.
Dimas Baskara P. : Belum ngantuk aku
Ia membaca pesan dan membalasa ingin memberitahu bahwa dirinya ingin tidur.
Caca: Aku tidur duluan ya bang
***
Bagian 5: Permulaan : Obrolan dan Perkenalan
Esok malamnya tak beda jauh dari malam-malam sebelumnya, gadis itu sudah dari tadi stay di depan laptop. Yang membedakan sedikit adalah karena libur ngampus, maka pekerjaan rumah akan limpahkan kepada Caca. Seperti mencuci piring, mengepel, dan menyuci baju dan malam ini Caca akan menonton series episode terakhir dan berjanji tidak akan tidur larut malam lagi. Ia bersumpah siapapun yang mengganggu malamnya ini, akan ia omeli habis-habisan.
“Ini last episode jangan ada yang ganggu gue ya anjir,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun, di tengah ia asik menonton ada pesan masuk dari Dimas. Caca tidak langsung membalas pesan pemuda itu. Ia mencoba mengingat pesan semalem yang mengirim adalah Caca dan ia hanya membacanya saja. Terus, tiba-tiba kini ia me-WhatsApp Caca lagi.
Dimas Baskara P. : *sent a photo*
Dimas Baskara P. : Pulang
Caca hanya membaca pesan pemuda itu dari bar notification tanpa membukanya. Caca mengerti maksudnya. Kemarin waktu chat basic questions, Dimas menyampaikan bahwa dirinya sedang work from office yang jarang sekali ia lakukan. Sedangkan kesehariannya hanya bisa work from home yang menurut pemuda itu sangat membosankan sebab diberlakukan sejak pandemi datang hingga saat ini. Sebab Caca belum relate dengan dunia pekerjaan, maka respon dirinya hanya mengiyakan saja.
Caca: Hati hati di jalan bang
Gadis itu melanjutkan menonton filmnya lagi dengan antusias dan fokus demi bisa memahami alur ceritanya yang memuaskan. Hingga tak terasa series tersebut sudah mau selesai, Caca mengecek handphone-nya.
Dimas Baskara P. : *sent a voice note*
Dimas Baskara P. : *sent a voice note*
Caca mengumpat. “Anjing, kenapa vn,” katanya sambil mendengarkan speaker handphone-nya ke dekat telinga. Di voice note tersebut Dimas mencoba menceritakan cerita temannya yang sedang di selingkuhi sehingga ia mengharuskan mampir dan bertemu temannya dahulu. Namun, yang membuat Caca heran, voice note satu lagi menceritakan hal yang berbeda.
Caca: Ini korelasinya apa anjir
Gadis itu melanjutkan kembali kegiatan nontonnya, mengingat sudah di menit-menit terakhir. Dengan tatapan serius film itu berhasil selesai.
“Yeay. Happy. Tapi, anjir banget deh, masa jadi lupa ingatan gitu, ck,” ucapanya pada diri sendiri. “Hmm, bagus dan masuk akal. Emosinya juga greget. Salut! Aaaa kenapa seru banget,” kata Caca ngomong sendiri. Tatapannya beralih kepada pesan masuk.
“Ck, napa vn sih,” dumalnya langsung mengetikan sesuatu tanpa mendengarkan isi suaranya.
Dimas Baskara P. : *sent a voice note*
Caca : Kata gue mah lo telp aja deh bang
“Ck, repotin aja vn-vn segala,” gerutu Caca sambil mematikan laptopnya dan mengambil posisi santai.
Incoming voice call from Dimas Baskara P.
Benar saja pemuda itu langsung menelpon Caca. Gadis itu tanpa lama langsung mengangkatnya.
“Halo?” sapa gadis itu ramah, kemudian disahuti oleh suara di sebrang sana. Selanjutnya mereka jadi bercerita mengenai topik sebelumnya sehingga topik pembahasaan mereka tidak habis. Beberapa kali gadis itu menyahuti dan bertanya.
“Ooo bisa jadi sih, mungkin karena mereka nggak in long-term relationship jadi kayak.. ngga tahu sifat satu sama lain,” kata Caca memberi opini.
Selanjutnya topik pembahasan mereka berlanjut mengenai informasi pribasi satu sama lain, seperti Dimas menanyakan asal asli Caca dan sebaliknya. Bahkan Dimas menceritakan tentang keluarganya kepada Caca. Pemuda itu memang jarang cerita mengenai keluarga ke orang lain atau memang terbuka saja?
Ia banyak membahas kehidupannya di usianya yang kini dewasa. Pekerjaan, keluarga, sampai ke isu-isu sosial. Di tengah pembahasan, Caca jadi membandingkan dia dengan Reza. Caca lebih suka ngobrol dengan Reza. Keduanya sama-sama asing untuk Caca, tapi the way he talked and his thoughts. Reza yang mungkin sudah terbiasa berbicara di depan banyak orang dengan diksi dan intonasi yang tegas. Sehingga hal tersebut memudahkannya dengan berinterkasi dengan orang lain dengan gaya intelek yang natural, sementara, Caca tidak tahu latar belakang pemuda yang saat ini sedang mengobrol dengannya. Karena Caca bisa menilai pemikiran seorang melalui cara bicara dan diksi yang ia gunakan.
Caca senang mengobrol dengan Reza karena obrolannya berisikan opini-opini pribadi yang kemudian Caca membalas dengan argumennya, beberapa kali menyetujui pernyataan yang dilontarkan Reza. Namun, saat bersama Dimas, banyak opinu-opini yang berasal dari Caca sehingga pemuda itu hanya mengiyakan saja tanpa ada tanggapan dan diskusi di dalamnya. Semua ini memang berskar dari tipikal laki-laki kesukaan Caca yaitu laki-laki yang cerdas, sehingga semua point dengan mudahnya mengunggulkan Reza. Ck, apa selera Caca tuh yang kayak Reza gitu, ya? Walau begitu, karena keduanya merupakan orang baru dan masih asing untuk Caca, gadis itu hanya memberikan penilaian yang subjektif tanpa mengetahui seratus persen mengenai mereka di sisi yang lain.
****
Bagian 8: Wejangan Tiara
Hari ini hari yang indah untuk Caca, karena hari ini ia akan bertemu Tiara. Karena hari ini Caca libur, maka Caca lah yang akan menyusul Tiara di coffe shop langganan. Gadis itu sudah bersiap dari sejam yang lalu dan meminta izin untuk segera menyusuli Tiara. Di coffe shop tersebut, Caca sudah hafal perempuan itu duduk di mana. Dan ia juga sudah memesan menu kesukannya kepada barista yang dengan mudah mengenali dirinya.
“Di tempat biasa ya, Mas,” kata Caca sambil bergegas menunju meja Tiara.
“Kak Tiaraaaaa!” sapa Caca antusias.
“Hai!” balasnya anggun.
Caca duduk di hadapannya dengan semangat antusias seperti habis dapat uang dua miliyar.
“Kenapa senyum-senyum? Kesambet?” celetuk Tiara membuat gadis itu tertawa sambil menggeleng.
“Virusnya Dimas nih pasti nyebar,” katanya dengan jutek, tapi itu sukses membuat Caca ngakak.
Hari ini Tiara tidak sedang menghadap laptop, gadis itu baru pulang dari kantornya dengan mood yang bagus.
“I’ve told u that we were going to the concert, Am I? Yang waktu itu ada Vierratale, terus nggak jadi gitu, kan? Did u tell him, Kak?” tanya Caca langsung to the point.
“Iya lagi aku pernah cerita. Jadi gini,” kata Tiara mulai bercerita, “Dia kan temennya cowok aku. Aku pernah ngajak dia nonton konser yang waktu itu aku ajak kamu juga. And I told him I’ll invited my lil sissy, which is you, dan dia baru nyadar gitu pas inseiden kemarin salkir foto. So, why?” tanya Tiara penasaran.
“Dia ngajak aku nonton konser. Dia udah book tiketnya, padahal masih dua bulan lagi,” jawab Caca seperti antusias tetapi bingung juga.
“Gas. Berangkat aja,” saran Tiara yakin, “Baik kok, nggak gigit,” tambahnya sambil tertawa. Mengingat Caca tipikal yang ciut kalau ketemu orang yang belum ia kenal secara personal. Beda lagi dengan Reza yang mana walaupun mereka tidak dekat tapi keduanya saling tahu sama lain sehingga hal tersebut menimbulkan rasa aman pada Caca. Gadis itu jadi diam. Muncul rasa kahwatir di hati kecilnya. Bagaimana kalau orang-orang ini pada akhirnya hanya akan jadi sebatas penonton story?
Chat dari Dimas juga akhir-akhir ini seperti berbeda. Berbeda dalam artian, Dimas sudah merasa dekat dengan Caca. Beberapa kali chat ia kirimkan seperti chat seorang kekasih yang mana Caca adalah pacarnya.
Seperti saat Caca sedang sibuk bersih-bersih rumah. Pemuda itu mencari Caca dengan mengirimkan pesan.
“Knock-knock, where are you?"
Atau bahkan ketika Caca bangun kesiangan, pasti ketika ia bangun sudah didapati pesna dari Dimas sebanyak tiga sampai empat di jam yang berbeda. Seperti:
“Bangun.”
“Ayo subuhan.”
“Masih tidur kah?”
“Hai.”
Caca seperti rindu moment ini, moment yang baru ia rasakan kembali. Kadang-kadang juga dengan tingkahnya yang membuat Caca gemas adalah saat ia izin pamit untuk tidur lebih awal.
“Ca, aku boleh tidur duluan nggak?”
“Besok aku mau perjalanan jauh ngantar om ku.”
“Kamu jangan tidur malam-malam.”
Gemas. Tapi, Caca jadi berkaca juga. Kenapa pemuda ini melakukan hal seperti itu seakan Caca adalah pacarnya. Lagi pula, Caca bukan siapa-siapanya juga, kalau mau tidur kan bisa langsung tidur saja, tidak perlu bilang-bilang.
Caca takut baper. Caca nggak mau patah hati lagi.
“Dia tuh tipe cowok yang friendly dan terbuka gitu, ya, Kak?” tanya Caca cemas.
“Yup. Sejauh aku kenal dia, kalau lagi main cukup terbuka dan mau cerita apa aja even curhat. Keliatan dari mukanya kan,” balas Tiara dengan percaya diri.
“Berarti aku harus hati-hati, ya, Kak?” simpul gadis itu tambah was-was, takut jatuh kelubang yang sama.
“Kok hati-hati? Nggak perlu. As a friend dia amat baik hati, kalau kamu anggep dia sebagai teman,” kata Tiara penuh penekanan.
Kenapa kalimatnya seperti dibuat rumit, padahal intinya nyuruh aku jangan baper, kan?
Caca diam, Tiara seperti mengetahui gelagat dari gadis ini.
“Kenapa? Jadi takut baper, ya, kamu?” tanyanya sambil menyeringai dan tersenyum titpis.
Caca menarik napas, kini ekspresinya berbeda dari saat kedatangan.
“Iya. Ah, iya I remember something,” kata Caca mulai merubah posisi duduknya jadi lebih mendekat dengan intonasi yang mulai serius. “Aku nggak pernah save his number, Kak. As my defence mechanism-ku biar nggak patah hati lagi. Waktu itu, dia pernah WA aku di tengah malam, kubalas, esoknya nggak ada balasan lagi. Karena kupikir, ya untuk apa di-save kalau nggak ada kamunikasi lanjutan, kan? It’s my opinion,” kata gadis itu bercerita dengan serius.
Tiara mendengarkan dengan seksama, tersenyum sambil mengangguk memahami.
“Karena in the next day nggak ada komunikasi, yaa I don’t mind gitu, kan. Ternyata di next day-nya kita baru call untuk yang pertama kali. Setelah itu, lanjut komunikasi sampai sekarang,” kata Caca mulai berjeda. “Dari obrolan itu dia cerita banyak termasuk keluarganya. So, here I am, I wanna ask you about this. Dia emang orang yang terbuka gitu untuk bisa nyertain tentang keluarganya atau tipikal orang yang jarang cerita ke keluarga?”
Tiara agak terkejut.
“Wow, dia kayaknya jarang cerita soal keluarga. Tapi I suppose kalau dia terbuka ke orang lain mungkin juga ke semua orang karena ngerasa nyambung dan nyaman,” balasnya dengan dewasa. “Aku ngerti kamu takut patah hati lagi, karena belum sembuh seratus persen. Jadi, kalau kamu khawatir baper, c’mon my lil sissy, aku dan kamu juga kan friendly, jadi harusnya nggak perlu baper untuk menghadapi orang yang datang tiba-tiba ngasih perhatian dan pergi. Okay?”
Deg! Caca tersinggung.
Caca friendly, benar.
Caca seperti terintimidasi atas perkataan Tiara. Dahulu, saat ada temannya Tiara yang mencoba mendekati Caca, respon perempuan itu juga sama seperti ini.
“Hm, berarti kamu se-not recommend banget ya, Kak, ke semua teman-temanmu, karena you know him so well,” balas Caca geram.
Kenapa seolah Tiara tidak pernah merestuinya begini?
“No, honey. Kalau soal Rahmat aku bilang, dia cukup untuk sebetas teman aja udah baik banget. Tapi nggak untuk hubungan lebih jauh lagi. Kalau Dimas, as a friend he is good, baik banget. Untuk lebih jauh pun sangat it’s okay,” jawab Tiara bijak dan dewasa.
Caca masih diam. Sebagai seorang kakak, Caca mengerti nasehat yang diberikan sebenarnya bertujuan baik, yaitu agar Caca tidak patah hati. Maka Tiara selalu merekomendasikan teman-temannya hanya sebatas teman saja. Tapi, yang dibilang Tiara benar juga. Tidak bawa perasaan adalah defence mechanism agar nggak patah hati.
“Iya juga, sih. Benar. Semua bakal baik-baik aja kalu kita nggak suka sama siapapun,” kata Caca bijak.
“Asik, nge-quote,” timpal Tiara sambil membercandai Caca. Ia kurang suka suasana awkward seperti ini yang kelihatan jadi canggung. Caca ikut tertawa juga mengingat iya menemukan kata-kata itu dari Instagram.
“So, let’s enjoy the friendship.”
***
Bagian 9: Partner Dimas?
Bang Dimas: Sabtu malam kamu ada kegiatan nggak?
Pesan yang terpampang di layar handphone membuat gadis itu mengerjap dan membalas pesannya. Caca sudah menyimpan nomor pemuda itu dua hari yang lalu, saat ini mulai merasakan sinyal yang bukan komunikasi jangka pendek dan berujung penonton story.
Caca: Nggak ada, kenapa emangnya?
Bang Dimas : Anterin aku ke wedding temanku yuk
Caca terpelonjak. Kaget betul. Perasaan laki-laki yang lain di pertemuan pertama mereka selalu mengajak ke tempat ngopi dan ngobrol lebih lama di sana. Ini kenapa langsung ngajak jadi partner kondangan gini? Mungkin karena usianya yang dewasa sebab antara Caca dan dirinya selisih lima tahun. Pikir Caca, mungkin beginu cara orang dewasa mengajak kencan. Caca nervous. Ini pertama kalinya dalam hidup dia jadi partner kondangan orang baru. Bahkan sama Emon atau Tino saja tidak pernah. Caca bingung. Satu sisi ia sedang malas dengan orang baru juga. Seperti pertemuannya kemarin dengan Reza yang Caca kenal saja rasanya begitu asing saat mereka diam. Apalagi Dimas, yang gadis itu tidak tahu asal muasal dan ceritanya seperti apa. Caca seperti malas.
Caca : Boleh aja, tapi liat nanti yaaa
Sepanjang hari gadis itu memikirkan ajakan pemuda itu datang ke pesta pernikahan temannya. Caca tidak pernah punya pengalaman seperti itu. Sepanjang malam dirinya tidak bisa tidur memikirkan moment itu terjadi betulan dalam hidupnya. Bagaimana ini?
Gadis itu langsung mengirim pesan kepada Emon dan Tino.
WhatsApp
Caca : No kalo datang ke kondangan sama cowok tuh harus ngapain sih
Caca : Dateng, salaman, terus ngapain lagi anjing
Tino : Apa sih sat
Tino : Kayak gapernah kondangan aja
Tino : Ya begitu
Caca : Mksd gue nanti di sana ngapain lagi
Tino : Ngen –
Caca : Blok
Caca : Serius anjir ah No
Tino : Lagian diajak kondangan sapa sih
Tino : Bang Reza?
Ck, pemuda itu malah nanya-nanya yang lain bukannya jawab pertanyaan Caca. Tidak guna. Caca beralih ke Emon yang lebih waras daripada Tino.
WhatsApp
Caca : Mon kalo diajak kondangan sama cowok tuh harus gimana sih
Emon : Gimana anjir
Emon : Biasa aja, dateng, salaman, makan, nyuci piring, ngepel, nyetrika
“Apa sih, goblok Emon malah nyuruh gue jadi ART?!” dumalnya.
Caca : Serius ege Mon gue
Emon : Ya lo kalo kondangan gimana?
Caca : Ya kayak gitu
Emon : Yaudah
Caca : Masalahnya Mon gue biasa kondangan sama cewek, ini sama cowok jir
Emon : Yang membedakan lo dateng sama cewek atau cowok apa jir
Emon : Sama aja
Emon : Gua gulung lo ya Naila Khansa
Caca : Ck Mon
Emon : Jangan bilang Bang Reza ngajakin lo ya
Emon : Ck napa sama dia sih Ca
Emon : Si paling professional
Caca yang membaca itu langsung mengernyit heran.
“Apa sih? Maksudnya Emon cemburu?” gumamnya bingung.
Caca : Dih cemburu ya?
Emon : Kalo dibilangin
Caca : Bukan sama Bang Reza
Caca : Puas??!!
Caca mendecak beberapa kali. Kenapa sih pada posesif banget? Gadis itu betul-betul tak bisa tidur semalaman memikirkan ajakan Dimas yang tak biasa dari yang lain.
WhatsApp
Bang Dimas : Tidur hei, online aja
Bang Dimas : Besok masih libur atau ada kuliah?
Ck, kenapa seperhatian itu sih. Pemuda itu tahu saja Caca sedang tidak bisa tidur malam ini.
Caca : Libur atuh, kan besok sabtu
Bang Dimas : Ooo iya lupa aku
Caca menarik napas, walaupun nasehat Tiara kemarin menyuruhnya untuk tidak baper. Pada akhirnya gadis itu baper juga.
***
Bagian 10: Cinderella di Satu Malam
Malam yang dikhawatirkan Caca akhirnya telah tiba. Gadis itu harap-harap cemas memandangi langit malam ini. Mendung. Walaupun ia tidak bisa tidur semalaman, tapi doanya meminta agar tidak hujan juga. Ia sedang bersiap di kamarnya, memilih baju yang paling bagus dan berdandan yang paling cantik untuk malam ini. Karena malam ini merupakan pengalaman pertanya menjadi partner di sebuah pesta pernikahan. Caca harus tampil sempurna. Ia memilih gaun berwarna krem dengan nuansa batik di sisinya. Ia memadukan atas selutut dengan rok yang berwarna senada. Warna kesukaan Caca. Ia memilih flat shoes yang berwarna senda juga dan terlihat matching.
Doa Caca tidak dikabuli, hujan turun tiba-tiba menderas. Gadis itu menarik napas berat sambil beberapa kali melihat handphone. Mood-nya jadi kurang baik. Ibu yang menyaksikan itu untuk menenangkan Caca.
“Nanti berhenti hujannya. Pergi sama siapa?” tanya Ibu dari ruang televisi.
“Sama senior. Temannya Kak Tiara. Kasian, Bu. Takut kehujanan,” balas Caca dengan lesu.
Tak lama hujan mereda menyisakan gerimis saja. Dimas menghubunginya untuk meminta berbagi lokasi. Caca kirimkan dan membalas dengan hati-hati di jalan sebab habis hujan jalanan pasti licin. Gadis itu merasa tak enak. Di pengalamannya pertama seperti ini malah turun hujan, seakan semesta tak mendukung mereka. Di kamarnya, sambil menunggu pemuda itu sampai, Caca berkaca di depan cermin. Riasannya sudah pas. Ia terlihat cantik bak seorang model. Baju yang kenakan juga bagai seorang princess. Cantik.
Gadis itu resah. Hujan turun lagi. Caca panik betulan, ia khawatir Dimas kehujanan dan membuat pakaiannya basah dan tidak pergi ke acara. Ia langsung ke WhatsApp Dimas.
Caca : Yah hujan lagi
Caca : Kamu neduh nggak bang??
Tak lama setelah itu, Dimas membalas.
Bang Dimas : Aku bawa mobil
Bang Dimas : Rumah kamu yang mana ya?
Gadis itu mematung dan membeku. Mati Caca. Tamat sudah riwayatnya. Ia memaki. Kenapa pemuda itu tidak bilang di awal kalau ia berangkat menggunakan mobil. Ibu sudah dari tadi ngoceh mengkhawatirkan Dimas.
“Suruh mampir dulu atuh, kasihan jauh-jauh dan kehujanan,” kata Ibu sambil merapikan ruang tamu.
“Bu, dia bawa mobil,” jawab Caca gemetar. Ibu kaget bukan main. Baru kali ini anak perempuan semata wayangnya dijemput menggunakan mobil.
“Bu, aku harus gimana, ya? Bentar, deh. Aku balas dulu.” Caca sudah panik bukan main. Napasnya tidak beraturan. Malam ini judulnya semua yang yang pertama. Untuk pertama kali Caca dijemput menggunakan mobil dengan orang yang baru pertama kali ia temui serta pertama kali menjadi partner pesta pernikahan.
Caca : Yang pagar hitam, nanti aku keluar pakai payung
Gadis itu mencari payung sebagai penanda tentang keberadaan dirinya. Ibunya mungkin sudah pusing melihat Caca yang tidak enak diam dan salah tingkah. Ahh, Caca malu. Gadis itu berdiri di depan rumahnya. Yang tak lama setelah itu datanglah pemuda menggunakan batik dengan warna kombinasi hitam dan krem, dipadukan dengan sepatu kulit yang berwarna coklat juga. Matanya sipit, nyaris saat tersenyum hampir tak terlihat. Ada kaca mata bertengger di sana, sambil membawa payung untuk menjemput Caca.
Wait, ini seperti di drama Korea hujan-hujanan pakai payung?
Atau, seperti Cinderlla.
Ya! Caca seperti Cinderella yang lama terkurung di rumah dan dijemput oleh pangeran bermobil malam ini. Sial, gadis itu baru sadar.
Sumpah, dia ganteng banget, anjir. Ini titisan pangeran kali, ya. Bawa payung juga lagi berasa di drakor, batinnya.
Pemuda itu tersenyum, Caca terkesima.
“Aku mau izin dulu,” katanya membuat Caca segera memanggil Ibunya. Dan Ibu Caca mengekori gadis itu.
“Tante, mau izin sama Caca ke pernikahan temanku,” kata Dimas dengan ramah dan sopan.
“Iya, jangan malam-malam ya pulangnya,” jawab Ibu.
Caca yakin Ibu juga terkesima melihat pemuda itu datang malam ini. Untuk yang pertama kali dalam hidup, di malam ini semua dijadikan satu. Untuk yang pertama kali juga Caca bertemu pemuda dengan sangat amat tampan. Erik pun terkalahkan dari pemuda itu.
“Duluan tante,” ucapnya lembut sambil mengajak Caca jalan di bawah payungnya yang berukuran tidak terlalu besar.
Hati Caca ingin berteriak, raganya ingin kabur. Ia tidak biasa berada di posisi seperti ini. Demi apapun, Tino, Emon, tolong! Caca malu banget, mau kabur.
Gadis itu masuk ke dalam mobil. Detak jantungnya semakin mengeras, mungkin Dimas di sebelahnya juga bisa mendengar. Ah, Caca benci di posisi seperti ini. Apalagi suasana yang serba baru ditambah orang baru seperti ini. Caca yakin dirinya akan memalukan.
Dimas di sebelahnya sedang mencari lokasi menggunakan google maps, sambil beberapa kali bersiap untuk segera berangkat.
“Jangan lupa pakai seatbelt-nya, karena aku kayaknya bakal sedikit bar-bar,” ucapnya dengan suara yang cool.
Mati. Mampus. Anjing. Gue mau kabur. Emon, Tino gue mau naik motor lo aja, nyet. Gue nggak ngerti.
Di mobil gadis yang hanya menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah dan lebih banyak menggunakan motor kesayangannya. Untuk yang pertama kali Caca dijemput laki-laki menggunakan mobil. Waktu sama Erik, pemuda itu menggunakan vespanya. Belum lama saat bersama Reza, pemuda itu menggunakan matic-nya. Apalagi Emon dan Tino sering jadi ojeknya Caca di kampus. Atau bahkan pemuda-pemuda yang lain saat menjemput Caca juga menggunakan transportasi yang simpel yaitu motor. Keluarga Caca lebih suka di rumah. Sebab itulah Caca tidak terbiasa dengan fitur-fitur yang ada di mobil. Tapi, bukan berarti Caca tidak pernah naik mobil. Ia sering naik mobil. Tapi, tidak pernah yang hanya berdua. Ia sering duduk di belakang saat acara keluarga besar. Yang Caca ingat, ia pernah berdua dengan temannya memesan ojek online mobil, yang mana Caca yang dijadikan tumbal duduk di depan alih-alih teman Caca tidak mau mengobrol dengan supir.
Ck, akhirnya Caca duduk di depan. Tapi, selama perjalanan sejam ke Depok, Caca tidak pakai seatbelt dan tidak ditegur juga oleh sang supir. Matilah Caca saat ini. Tidak pernah ditegur saat itu mengakibatkan Caca tidak mengerti cara pakai seatbelt.
“Ini cara pakainya gimana?” tanya Caca polos.
Sumpah Caca malu. Ingin saat itu kabur! Kenapa ia harus ada di sini?! Demi apapun Tuhan, Caca malu. Pasti dia ilfill. Pasti setelah ini dia tidak mau bertemu dengan Caca lagi. Pikirannya menembus ruang angkasa. Overthinking-nya berkecamuk.
CACA MALU DEMI APAPUN. CACA TOLOL, CACA BODOH, CACA NORAK. CACA INGIN KABUR!
“Sini,” lengan pemuda itu meraih seatbelt yang ada di tangan Caca untuk dipasangan olehnya. Pemuda itu melanjutnya menyetir. Semudah itu?
Anjing, Tino, Emon! Gue mau nangis, malu banget.
Caca seakan tahu apa yang ada di pikiran pemuda itu terhadap Caca. Pasti ia akan menilai Caca norak dan bodoh. Caca malu. Kapan semua ini akan berakhir.
Di perjalanan agar tidak canggung, gadis itu beberapa kali memulai pembicaraan dan pemuda itu juga beberapa kali bertanya. Suasana sudah mulai mencair walaupun rasa malu masih berkecamuk di hati Caca. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol, walau beberapa kali Caca jadi pendiam bukan seperti dirinya. Ah, bagaimana ini?
Saat sampai lokasi, batin Caca bertanya, gimana cara buka seatbelt anjing??! Tangannya meraba-raba dan. Tek! Bisa. Caca bernapas lega.
“Jadi, yang nikah ini teman aku. Tapi secara umur, tuaan dia setahun,” kata pemuda itu menjelaskan. Bibir Caca spontan membentuk huruf O sambil mengangguk. Pemuda itu turun dari mobilnya diikuti Caca. Caca ingin tertawa. Kenpa vibes-nya jadi kayak Barbie and Ken. Kenapa pemuda itu tampan sekali dengan outfit yang ia pakai malam ini. Caca ngga bisa berkomentar apa-apa. Ia ingin pingsan. Malam ini benar-benar seperti Cinderella, bedanya pemuda itu tak menggandeng tangannya di depan orang banyak. Hah. Caca ini nyari penyakit saja.
Saat melangkah masuk, semua mata tertuju pada Caca dan Dimas. Mungkin karena outfit senda yang mereka gunakan membuat para tamu undangan menoleh. Atau, menoleh hanya kepada Dimas saja? Atau kepada outfit Caca yang menurutnya mala mini sangat norak.
Ah, Caca overthinking.
Keduanya datang dan menyalami mempelai. Caca mengekori Dimas. Setelah bersalaman, Dimas masih sedang asik mengobrol dengan pengantin laki-laki yang ia sebut sebagai temannya. Caca duduk lebih dahulu di bangku terdekat yang kosong. Setelah ini Dimas menghampiri Caca dan menawarkan minum namun gadis itu menggeleng.
“Minum di luar aja, ya,” ucap Dimas lembut.
Keduanya kembali menunju mobil dan pergi. Caca kira sampai di sini aja, tetapi pemuda itu mengajaknya ke tempat lain. Tempat di mana bisa mengobrol lebih jauh tentang satu sama lain. Ke tempat ngopi.
***
Bagian 11: Insecure dan Overthinking
Selepas Dimas mengantar Caca pulang, gadis itu tidak bisa tidur hingga pagi hari. Pikirannya masih mengingat kejadian memalukan saat di mobil. Entah mengapa saat ia ingin memejamkan mata, kejadian it uterus menerus berputar. Caca malu sendiri. Ia overthinking dan memalukan. Caca khawatir selepas pertemuan pertama ini merupakan pertemuan terakhir juga. Caca khawatir selepas ini Dimas tidak akan menghubunginya lagi. Caca khawatir Dimas akan menilainya norak dan bodoh. Caca tak siap akan itu.
Sudah pukul tiga pagi, matanya sudah ngantuk berat, tetapi pikirannya selalu mengingat soal seatbelt mobil, Ah, sial. Yang Caca takutkan sejak dahulu kini benar-benar terjadi. Gadis itu mengingat semua yang terjadi. Termasuk ajakan Dimas soal nonton konser. Dia sudah membelikan dua tiket nonton, yang mana satu tiketnya saja bisa seharga uang jajan Caca sebulan. Dan semua Dimas yang bayar. Kemudian, Dimas menjemputnya dengan mobil. Bisa Caca simpulkan bahwa Dimas merupakan lahir dari keluarga yang berada. Yang mana akvitas yang dilakukan sangat berbeda dengan Caca. Caca insecure. Pikiran Caca semakin liar.
Pasti Dimas termasuk orang yang highclass dengan selera yang tinggi. Mungkin termasuk soal pacar, ia juga akan memilih perempuan yang selevel dengannya. Apalah Caca, gadis norak dan terlihat bodoh di depannya. Apalagi kalau diingat-ingat soal penampilan Caca semalam. Pasti sangat norak. Pasti perempuan-perempuan lain yang menaiki mobil Dimas merupakan perempuan yang kaya dan highclass juga. Ck, kenapa Caca jadi merendahkan diri seperti ini.
Tapi, sumpah Caca insecure.
Dahulu, Caca pernah insecure soal kecerdasan. Caca pernah dekat dengan mahasiswa S2 UGM yang membuat gadis itu serasa dosen dengan mahasiswa ketika mengobrol. Setengah tahun gadis itu ingin membuktikan bahwa Caca juga bisa keren seperti pemuda itu. Caca belajar mati-matian, belajar sungguh-sungguh, membaca buku, melatih kemampuan-kemampuannya yang lain, berlatih public speaking dan lain-lainnya. Sehingga rasa insecure yang menyerangnya ia jadikan sebagai motivasi untuk jadi lebih baik, maka terbentuklah Caca di versi sekarang.
Kalau soal ilmu, ilmu bisa dicari. Materi apalagi. Tapi ngak semua orang punya previlej soal itu.
Caca insecure soal materi. Ia bukan berasal dari keluarga yan berstatus sosial tinggi. Keluarganya biasa saja. Ia hidup serba cukup dan tidak pernah kekurangan. Dibandingkan dengan Dimas, mungkin Dimas sudah masuk ke strata sosial atas dan tidak pantas disandingkan dengan Caca. Gadis itu menangis di kamarnya.
Apa gue nggak se-worth it itu, ya, buat dia seorang yang kaya raya?
Caca pernah menulis di notes handphone-nya, tulisan itu berisi pertanyaan-pertanyaan yang gadis itu tidak tahu jawabannya. Salah satunya seperti ini:
Apa bisa seseorang dari keluarga biasa saja mendapat jodoh yang ‘lebih’?
Entah, yang saat ini ia sedang alami mungkin bisa menjadi salah satu jawaban.
***
Bagian 12: Eliminasi di Awal: Kekhawatiran yang Divalidasi
Esoknya, Caca hanya tidur dua jam. Ia masih ngantuk. Gadis itu mengecek handphone-nya. Harap-harap cemas apakah pemuda itu akan menghubunginya lagi atau tidak. Tidak ada pesan masuk. Padahal sebelum bertemu, pemuda itu selalu menghubungi Caca saat ia belum bangun. Kini sesuai yang ia khawatirkan. Tidak ada pesan. Semakin pusing kepalanya. Hari ini ia seperti orang habis tersambar petir. Tidak banyak bicara, tidak banyak gerak. Perasaannya harap-harap cemas mengenai pemuda itu.
“Kalau dia nggak ngehubungin gue lagi, berarti seakurat itu dugaan gue kalo gue ngga selevel sama dia,” gumam Caca pada diirnya sendiri. “Wajar sih, gue nggak sekaya dia dan gue norak. Kenapa harus sedih? Kenyatannya emang gitu.”
Hari ini gadis itu tidak mood melakukan aktivitas. Pikirannya berkecamuk dan overthinking. Caca masih harap-harap cemas. Bagaimana kalau setelah ini benar-benar tidak berkomunikasi lagi. Itu yang Caca takutkan. Bahkan sampai sore hari pun pemuda itu tidak mengiriminya pesan lagi. Apakah ini sinyal bahwa ketakutan Caca benar-benar di konfirmasi? Apakah Caca senorak dan seenggak level itu buat Dimas? Harinya muram.
Sebuah pesan masuk di handphone-nya membuat gadis itu sedikit lega karena dugannya salah. Dimas masih menghubunginya lagi. Tapi, kenapa jadi jarang chat seperti ini?
Bang Dimas: *deleting a message*
Bang Dimas: Eh sorry salkir Ca wkwkwkwk
Hah? Kirain Caca semua sudah berakhir. Gadis itu langsung membalasnya.
Caca : Hahahaha aman bang
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga jam, lima jam bahkan seharian. Sampai haari berikutnya Caca tidak mendapati balasan apapun dari pemuda itu. Semakin divalidasi dengan kebenaran bahwa pemuda itu benar-benar datang karena penasaran. Kalau semua baik-baik saja tanpa bertemu, kenapa harus bertemu? Kalau sebelum bertemu ia masih menghubungi Caca, kenapa setelah bertemu ia sudah tidak menghubungi Caca lagi?
Berarti memang benar. Caca bukan selerasanya. Bukan levelnya. Bukan gadis modern yang highclass. Caca menangis lagi.
“Tapi, Bu. Dia udah pesan tiket nonton konser dua bulan lagi. Masa nggak neghubungin aku lagi,” ucap Caca sambil menangis di pangkuan Ibunya.
“Kak, namanya laki-laki itu memilih. Semua laki-laki. Nggak heran kalau kamu suka nemuin laki-laki yang nggak cuma punya satu perempuan. Mungkin, sebelum ketemu, Dimas masih penasaran sama kamu. Khansa gimana, ya, orangnya? Setelah ketemu, mungkin kamu nggak sesuai sama ekspektasi dia. Setelah ketemu dan lihat kondisi kita kemarin,” kata Ibu sambil mengusap lembut rambut Caca.
“Kalau masalah tiket, yang beli kan dia. Tiket itu bisa dengan mudah dipindahkan tangan. Harus legowo,” kata Ibu memberikan petuah dengan bijak. Gadis itu sudah sesenggukkan menangisi semuanya.
“Seumur aku hidup, ketemu banyak laki-laki, baru kali aku dieliminasi di awal,” kata Caca dengan intonasi yang tak jelas akibat menangis. Gadis itu menyebuti satu persatu nama pemuda yang pernah jalan dengannya dan bertemu dengan ibu. “Ibu tau, kan? Malah setelah itu mereka masih mau ngajak aku keluar.”
Ibu tersenyum tipis, “Kak, orang kan beda-beda. Laki-laki yang kamu temui pasti punya karakter dan selera yang beda. Mungkin Dimas pengen perempuan yang selevel sama dia, yang sama. Nggak apa-apa atuh.”
“Bu, aku malu. Kenapa aku harus nge-iya-in ajakan dia malam itu? Kenapa semua orang pergi di hidup aku, Bu?”
“Hei! Kakak belum nemu peran utama aja. Dimas bukan pangeran utama kamu. Kita ketemu banyak orang kan antara memberikan cerita atau pelajaran. Maka, pertemuanmu dengan Dimas bentuk dari pelajaran yang bisa kamu ambil.”
Gadis yang baru saja merasakan seperti kisah di Cinderella, sedang menangis dipangkuan Ibunya. Bercerita tentang semua ketakutan dan kekhawatirannya di awal, tentang semua yang terjadi serba pertama kali di hidupnya, kini seakan divalidasi oleh kenyataan bahwa gadis itu untuk yang pertama kali dieliminasi lebih awal. Ibarat permainan, Caca sudah kehilangan nyawa di awal. Tentang Dimas dan perbedaan status sosial yang membuat gadis itu merasa insecure. Kepergiannya seakan mengonfirmasi bahwa ketakutan dan kekhawatiran gadis itu benar-benar adanya.
Di tengah-tengah tangisannya, ada satu hal yang baru gadis itu sadari. Pikirannya terbesit Erik.
Tangisannya kali ini bukan karenanya, tetapi karena pemuda lain yang membuat gadis itu sadar bahwa ia sudah berada di buku dan halaman baru. Namun sayangnya, belum sampai ending gadis itu sudah selesai membacanya dengan kesedihan.
Dan Caca patah hati lagi.
The end.
Author Note:
Dear Abang, 11 februari 2023 kita tetep bakal nonton konser nggak? hehe.
Comments
Post a Comment