Skip to main content

Aku, Kamu dan Nasi Padang

   Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Ah, sial! Seharusnya jangan turun dahulu sebelum sampai dirumah. Mika lapar, ingin makan. Biasanya jam pulang dari kampus seperti ini Mamanya sudah memasak makanan kesukaannya. Ia terjebak hujan didekat kampusnya. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
      Kemudian, matanya melihat sebuah rumah makan disebrang jalan sana. Rumah makan Nasi Padang. Mika berlari mengahampirinya, melawan hujan yang masih menderas. Sampai.
    Mika mencari tempat duduk. Disini, dekat jendela. Ini adalah tempat favoritnya. Mika memesan kepada pelayan. Hah, rasanya ia teringat sesuatu soal Nasi Padang.
__
*flashback.
    Kegiatan eskul yang diadakan hampir tiap hari sudah selesai untuk hari ini. Mengingat besok adalah hari H lomba paduan suara diadakan. Mika bergegas memakai sepatunya.
"Mik, mau pulang?" Tanya Zikri.
"Iya."
"Bareng aja, gaenak pergi bareng pulang sendiri. Tunggu, gue pake sepatu dulu."
  Mika mengangguk. Iya juga sih, memang tadi saat pergi Mika dijemput oleh Zikri. Itupun Zikri yang meminta semalam sebelum hari ini.
  Ketika keduanya usai memakai sepatu, keduanya pulang bersama. Diperjalanan.
"Udah besok aja, ya?" Ucap Zikri.
"Iya, mana jauh. Jangan mabok lo!"
"Bukan mabok, Mik. Cuma mual aja, gakuat didalem mobil."
  Keduanya saling menertawakan. 
"Laper nih." Gumam Zikri.
"Makan, dong."
"Tukang nasi padang dimana ya?"
"Didepan gapura deket rumah gue, ada. Mau? Apa mau mampir aja, gue buatin makan tar."
"Gausah gausah."
______
 Syukurlah, lomba berjalan dengan lancar. Lomba yang diadakan diluar kota Mika tinggal. Paduan suara yang terdiri dari lima belas orang. Team dari sekolah Mika mendapat nomer urut ke dua. Makanya tadi mereka sudah prepare sekali. Sesudahnya, sudah diboleh kan untuk istirahat. Mika duduk dilantai Masjid. Diikuti yang lain. Karena memang panggung lomba berdekatan dengan Masjid. 
     Salah seorang pengurus acara datang membawa box makanan. 
"Makan siang!" Kemudian ia membagikan satu satu ke teman teman paduan suara.
Mika membuka boxnya.
"Nasi Padang." Gumamnya. Ia melirik ke Zikri. Ia dengan lahap memakannya diiringi tawa dari lelucon yang dibuat teman lelakinya. Ternyata, Zikri memang sangat suka dengan Nasi Padang. Walaupun wajah dan keluarganya tidak ada hubungannya dengan Padang  sama sekali. Jadi, makanan kesukaannya ya Nasi Padang. Mika tersenyum ke arah Zikri.
__
*flashback off.
_____
  Hujan diluar sana sedikit mereda. Pesanannya datang. Tak sabar ingin menyantap menunya. Saat ingin menaruh rendang kemulutnya, matanya melihat sosok yang ada dimeja depannya, yang ada kaitannya dengan makanan ini.
 "Zikri!"
Seseorang itu menoleh. Memicingkan tatapannya. Diam sejenak.
"Mika, kan?"
Mika tersenyum dan mengagguk. Seseorang itu mengahampiri meja Mika. Kini keduanya saling duduk berhadapan.
"Apa kabar?" Tanya Mika dengan penuh rasa rindu.
  Akhirnya seseorang yang pernah mengisi harinya selama di SMA kini sudah didepan mata, semenjak kelulusan dan tidak pernah bertemu selanjutnya.
"Baik. Sendirinya gimana? Kuliah lancar?"
"Baik juga, lancar kok. Ya agak, pusing sedikit kali ya haha."
"Ketawain aja, jangan ambil pusing. Haha."
  Keduanya tertawa geli, seperti waktu itu saat pulang eskul. Keduanya bercerita banyak. Tinggal dimana sekarang, lagi sibuk apa, suka dukanya saat ini. Sampai pembahasan mengingat hubungan mereka dulu yang hanya sebatas teman tapi mesra, haha.
    Ah! Mika benar benar rindu pada orang ini.
"Jadi, sekarang suka sama nasi padang? Padahal dulu biasa aja." Gumam Zikri.
"Semenjak lulus, dan ga ketemu lo lagi, ya gue coba buat naksir nasi padang."
"Terus, karena gue ketemu lo lagi terus lo mau biasa aja sama nasi padang, kaya dulu?"
  Mika menggeleng dan tertawa.
"Yaudah, mungkin gue harus ketemu lo setiap hari biar lo naksir sama gue lagi, bukan sama nasi padang."
 Mika terdiam. Teringat status mereka dulu. Indah. Manis.

The end----

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

Rahasia

Ada yang gelisah sambil menatap keluar dari jendela Langit malam dengan udara dingin seolah ingin menyamai posisinya Bulan dan bintang seakan gagu Ada yang resah tentang tanya Sinar rembulan malam itu tampak redup, ia pun seperti ragu menampakan cahayanya Suara-suara jangkrik tak terdengar, seolah bisu Banyak yang bertanya-tanya Tapi mereka tak dapat menjawab Dan tentang semua ini Semesta tahu jawabnya. —Teruntuk kamu yang sampai saat ini masih terlalu ambigu untuk ku. Obrolan-obrolan ngaco di setiap harinya pun semu. Tulisan ini dari ku yang masih menunggu apa mau mu.

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...