Skip to main content

Ikhlaskan

 Seusai shalat ashar, Darren menjemput Mika dirumahnya. Mereka sudah janjian untuk menonton lomba akustik disalah satu tempat perbelanjaan. 
   Ternyata, Darren sudah datang. Keduanya pergi ke tempat tujuan. Sampai sana, mereka menyaksikan penampilan teman-temanya. Karena banyak orang yang menonton, Mika dengan postur tubuh yang mungilnya demi ingin melihat penampilan teman-temannya sampai jinjit-jinjit.
   Alhasil, Darren menertawai Mika. Mika sebal. Tapi, Darren menikmati suasana saat ini. Lagu Mungkin Nanti-nya milik Peterpan yang sedang mengalun, membuat suasana seperti sedang galau-galauan, padahal tidak.
   Penampilan teman-temannya selesai. Mika dan Darren mengahampiri mereka kebelakang panggung. Bersalaman, memberi semangat untuk optimis juara, mengobrol-ngobrol.
   Setelahnya, Darren mengajak Mika ke lantai atas. Sebenarnya Mika kurang tahu dengan tempat perbelanjaan ini, jadi kemana-kemananya pun Mika akan ikut Darren saja.
  Mereka mendatangi sebuah kedai, seperti kedai kopi. Darren memutuskan duduk didekat jendela yang mengarah ke luar, yang terlihat jelas dari atas sini jalan-jalan raya, lampu-lampu kendaraan yang mulai menyala dikala senja terlihat, hiruk piruk suara klakson kendaraan, lampu jalan yang mulai menyala, gedung-gedung tinggi, tetap cantik pemandangan kota dari atas sini. Senja sudah mulai menujukan kecantikan dirinya, sudah sore. Mika suka melihatnya.
  "Kopi, teh, susu?" Tawarnya.
   "Moccachino." Jawab Mika.
   "Oke, wait gue pesenin."
Mika mengangguk, matanya kembali melihat ke arah jalan raya dari atas sini. Ia suka suasana jalanan sore. Tenang. 
  Darren datang sambil membawa dua Moccachino panas. Ia memberikan satu kepada Mika, Mika menerimanya sopan.
"Makasih."
"Iya, sama-sama."
   Keduanya menyeruput perlahan. Darren yang melihat Mika sedang minum sambil melihati jalan raya, memulai pembicaraan.
 "Suka Moccachino dari kapan?"
 "Dari lama." Mika menyengir.
 "Yang berbau kopi?"
 "Suka juga, tapi lebih suka Moccachino. Atau gue lebih suka minum Moccachino panas sambil baca buku pas ujan-ujan, it's perfect moment!"
 "Sambil dengerin lagunya The Chainsmokers juga hahaha. Gue tau kali, lo kan suka nyepam diumpan bbm."
  Mika mengerucutkan bibirnya.
 "Itu kalo lagi bosen, dengerin The Chainsmokers sambil nyanyi-nyanyi."
  "Apa minum Moccachino dibawah fly over pas mau maghrib hahaha."
  "Apa gue tinggalin aja dari sini?"
 Darren tertawa. "Tinggal aja tinggal, kendaraan kendaraan gue huu." Darren mengacak-acak rambut Mika. Mika mengerucutkan bibirnya.
   Dalam hatinya ia senang bercanda bersama Darren. Harapannya ia tak mau Darren pergi, dan mau ada kejelasan diantara keduanya tentang status mereka. Sore itu saat senja mulai terlihat, candaan itu, manis.
-------
   Senyumnya kembali muncul. Senyum kesedihan. Matanya kembali melihat-lihat foto-foto dirinya dan Darren. Apalagi moment paling berkesan, sore itu dilantai atas disalah satu tempat perbelanjaan. Candaan konyol itu, yang sampai saat ini masih teringat dan belum bisa dilupakan. Semuanya sudah usai. Termasuk harapan-harapan Mika. Sirna. Pupus. Kandas. Atau apapun kalimatnya tentang berakhir. 
   Mika bisa menyimpulkan bahwa Darren hanya menganggapnya teman saja. Tidak lebih. Teman perempuan yang asik kemana-mana. Asik diajak mengobrol, bercanda, dan berbincang.
  Dan, sekarang mungkin ada teman yang lain, yang lebih asik daripada Mika. Mungkin, dirinya yang terlalu membawa perasaan yang timbulnya jadi pengharapan. Kini semuanya hanya bisa diberi senyum penuh kemirisan. Mika ikhlas kan. 

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

sometimes it's across my head

i'm afraid of time flying so fast  i'm afraid of what will happen in the future i'm afraid of the world not as good as i thought i'm afraid of life ahead more dims i'm afraid of anything that hasn't happened yet i just missed my childhood no pain no burden no anxious no more frightening the only happiness that exists have you ever hate being an adult? heve you ever cried because you are going to mature? heve you ever sad because you're you? while you want to come back to being a kid again? wondering how being an adult is sucked life is getting worse when you realized you're not you formerly i supposed that grow up is whole things full of happiness and new things became full of joy but you changed you are growing up you being you now there are new challenges there are lots of nano-nano you can't be supposed to i don't know i'm afraid -i

11:02, 3 Juli 2018

Aku teringat lagi prihal jarak; yang pernah membutakan ku dulu pada mu. Hai? Sekarang apa kabar? Senang rasanya perlahan sudah terbiasa untuk biasa saja. Tapi, aku akan lebih senang lagi jika semesta berencana untuk suatu pertemuan abadi. Hei, tapi lihat lah aku, tersenyum sendiri seperti orang bodoh disini. Membaca ulang pesan yang kau kirim mengenai suara ku akan lagu tersebut. 'hehehe gapapa, tapi bagus kok.' Eh, atau barangkali aku akan lebih dari sekedar senang jika suatu hari nanti 'hehehe' mu tergantikan oleh tawa renyah mu langsung di hadapan ku. Ah, semoga semesta membaca aksara-aksara ku ini. — Dari ku di Tangerang teruntuk yang di Timur pulau ini.