Skip to main content

Remember part 1

    Ba'da dzuhur Mika masih betah berada lama-lama disekolahnya, selesai sholat dzuhur tadi ia langsung stay dibalkon depan kelasnya yang tepat banget depannya lapangan.
   "Kirain gue lo udah balik, abisan tas lo gaada dikelas." Via yang Mika anggap jadi teman curhatnya itu ikutan duduk disebelahnya.
   "Gue gabawa tas, haha. Lagian classmeet kayak gini mana mungkin belajar."
    "Terus lo masih mau nontonin classmeet futsal?"
Mika mengangguk.
     "Mana lawan mana?"
     "Sepuluh ipa satu lawan dua belas ips dua."
     "Duabelas ips dua?"
Mika mengangguk dan tersenyum.
      "Rayhan Abidzar?"
Mika tersenyum dan mengangguk lagi. Alasan Mika masih stay nonton futsal lebih lama, karena seseorang yang ia kagum-kagumkan yang akan main.
     Mika kagum padanya akan kemahirannya bermain futsal. Tapi, Mika cuma bisa ngeliatin dia dari jauh saja.
      "Masih aja ngarepin dia ada rasa sama lo."
      "Berharap bakal ada keajaiban soal itu."
    Suara speaker sudah kembali menggema. Tandanya, classmeet futsal sedikit lagi akan dimulai.
    "Yaaaa, masih dipertandingan futsal kelas sepuluh ipa satu melawan dua belas ips dua. Disebalah kiri ada gawang kelas sepuluh, dan disebelah kanan ada gawang kelas dua belas, siapakah akan yang menang kali ini? Mari kita saksikan bersama-sama!"
     Anak-anak futsal mulai pemanasan sebentar sebelum waktu bermain tiba. Mika tambah senang gawang kelas duabelas tepat didepan kelasnya yang bisa membuatnya melihat jelas Kak Rayhan.
    Walau Mika tahu Kak Rayhan tidak pernah tahu Mika mengaguminya, Mika juga tahu ia tak akan direspon olehnya. Lagipula Kak Rayhan sedang dekat dengan anak kelas duabelas ipa. Mika jadi tidak berharap banyak.
    Selama pertandingan berlangsung Mika tersenyum, walau dilapangan yang bermain banyak tapi matanya fokus ke satu orang. Sambil menyemangati dalam hati.
    Berbeda dengan 'kakak kelas duabelas ipa' disebrang sana, yang menyemangati Kak Rayhan dengan bertepuk tangan sambil menyanyikan yel-yel.
    Kalau diperhatikan Kak Rayhan kadang-kadang melihat ke arah Kakak Itu, mungkin itu penyemngat untuk Kak Rayhan tersendiri.
   Ditengah pertandingan yang sedang seru-serunya, karena skor sekarang 2-1, kelas duabelas unggul. Dilihat dari gerak-geriknya, kelas sepuluh mulai gesit bermainnya, berniat ingin membalap skor yang tertinggal.
    Dibabak kedua nanti akan ada perpindahan posisi, niatnya Mika nanti akan pindah ke sebrang. Tapi, karena matahari yang makin diatas membuat Mika jadi kepanasan ia jadi mempercepat niatnya untuk pindah ke sebrang.
   Via yang sudah pw, diajak untuk pindah, tidak mau. Alhasil Mika pindah sendiri.
   Mika melintasi belakang gawang, matanya sedang fokus membalas pesan Mamanya. Tiba-tiba sebuah bola meleset dan mendarat dikeningnya.
    BUG!
Mika memegang keningnya. Kepalanya sangat pusing. Beberapa orang menghampiri Mika dan menanyakan keadaan. Mika segera menjauhi lapangan dan mencari tempat yang aman.
    Sepertinya bola tadi adalah bola yang ditendang anak kelas sepuluh ke gawang kelas duabelas. Sayangnya tendangan itu meleset mengenani kening Mika.
   "Mik, lo gapapa?" tanya Via yang wajahnya sangat panik. Dengan polosnya Mika menjawab.
   "Ngga apa-apa." sambil memegang kening sebelah kanan yang memar akibat bola yang ditendang cukup keras.
   "Ke uks yuk, obatin luka lo." Via yang khawatir banget mengajak Mika ke uks, ia tidak mau melihat temannya terluka.
    Seorang anak PMR mengahampiri, ternyata itu Anisa anak kelas sepuluh juga.
"Kamu gapapa, Mik? Keningnya luka."
"Ah, gue gapapa kok gausah perban-perbanlah." jawab Mika.
"Ge'er lo, siapa juga yang mau perban lo. Luka lo mau dikasih obat merah doang paling."
   Mika terdiam. Walaupun anaknya pecicilan, kalau cuma sakit sedikit ia masih bisa buat bercanda. Dia bakal down parah, kalau sudah benar-benar sakit.
  Anisa mengobati luka Mika.
    "Makasih ya, Sa. Tuh, kan gue kayak parah banget diginiin, tadimah gausah."
"Meminimalisir luka kamu aja, Mik. Oh iya, tadi yang nendang bola terus kena kamu, dia minta maaf katanya. Tadinya dia mau ngegolin tapi meleset."
   "Iya, gapapa. Nisa kenal sama orangnya? Gue galiat lagi siapa yang nendang."
"Iya temen sekelas aku. Yaudah aku mau taro ini dulu."
    Mika masih memegang-megang lukanya. Lumayan perih.
    "Oh iya, Vi. Tadi, waktu gue kena bola kan orang-orang rame tuh nyamperin gue. Pertandingan sempet berhenti juga kan sebentar. Nah, lo liat Kak Rayhan panik ga?"
Via memalingkan wajahnya dari Mika.
    "Gue udah serius-serius dengerin, taunya soal Rayhan. Iya. Tadi dia sempet kepo siapa yang kena bola----"
Mika kegirangan mendengarnya.
   "Tapi, abis itu Kaka Itu nyamperin Rayhan sambil ngasih minum."
Mendengar lanjutan ceritanya, Mika jadi agak kecewa dan galau.
   "Yaelah, Vi. Gausah diceritain. Nyesel gue dengernya."
Tiba-tiba Anisa datang lagi.
   "Yang tadi nendang bola gasengaja kenal kamu, dia sempet khawatir siapa yang kena. Tadi, dia mau nyamperin kamu, tapi kamunya udah buru-buru pergi. Jadi, dia minta maaf banget katanya."
     "Iya-iya, dimaafin. Lagian, inimah luka kecil doang, bilang." Anisa mengangguk. Mika dan Via melanjutkan nonton futsalnya.
______
Mika pikir luka spele ini, bisa sembuh dalam dua hari. Ternyata, lebih. Membuatnya makin lama mengenakan plaster. Dihari ketiga, plaster itu masih melekat dikeningnya.
    "Hikmahnya, yaitu jangan menye-pele-kan hal kecil, hahaha." ejek Via.
Mika mengerucutkan bibirnya.
   "Luka lo kok, gue heran. Lama amet sembuhnya."
_______
Mengisi waktu istirahat, Mika ke perpustakaan untuk meminjam Novel. Saat keluar dari perpustakaan yang memang bersebelahan dengan kelas sepuluh ipa satu dan dua. Lantai atas cuma ada tiga ruangan. Beda dengan gedung sebelah kanan. Disana kebanyakan khusus kelas duabelas ditempatkan
    Mika berhenti didepan perpustakaan, sambil membuka halaman pertama dan memulai membaca. Tiba-tiba ada seseorang disebelahnya.
   "Luka lo masih belom sembuh?"
Mika menoleh. Heran. Cowok berperawakan tinggi, putih, seperti perankan Tionghoa, agak jutek tiba-tiba bertanya.
    Mika menggeleng.
"Cepet sembuh, yaa."
    Cowok itu berlalu dan memasuki kelas sepuluh ipa satu. Memang, tidak hanya cowok tadi yang mengucapkan cepat sembuh. Banyak juga teman cowoknya yang lain.
    Tapi, yang satu ini Mika agak heran. Mengobrol saja baru tadi. Tahu namanya saja tidak pernah.
    "Btw, makasih."

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...

Rahasia

Ada yang gelisah sambil menatap keluar dari jendela Langit malam dengan udara dingin seolah ingin menyamai posisinya Bulan dan bintang seakan gagu Ada yang resah tentang tanya Sinar rembulan malam itu tampak redup, ia pun seperti ragu menampakan cahayanya Suara-suara jangkrik tak terdengar, seolah bisu Banyak yang bertanya-tanya Tapi mereka tak dapat menjawab Dan tentang semua ini Semesta tahu jawabnya. —Teruntuk kamu yang sampai saat ini masih terlalu ambigu untuk ku. Obrolan-obrolan ngaco di setiap harinya pun semu. Tulisan ini dari ku yang masih menunggu apa mau mu.