Hari-hari berjalan seperti biasa. Papaw dengan kegiatannya; ke kampus dengan mengendarai motor yang harus menempuh perjalanan hampir 1 jam. Karena jarak rumahnya ke UI hampir memakan waktu cukup lama, walau masih satu wilayah di Depok juga. Main ke kos Bilba kalau bete, kadang main sama Andita, beberapa kali mulai tegur sapa sama Evi. Tapi, asli, Evi anaknya pendiam banget, hal ini kadang membuat Papaw bingung untuk menyapa orang pendiam. Soal Enggar masih berlanjut, jabatannya sebagai King of Maba masih tetap menempel di dirinya.
Cerita Sebelumnya :
Apalagi kegiatan rutinnya untuk ngechat Papaw. Papaw balas seperti biasa, kalau sudah tidak ada topik Papaw lebih memilih mematikan datanya. Tapi, pernah sekali Enggar menelpon Papaw pukul setengah dua belas malam, Papaw mengangkatnya, tapi Enggar bilang tidak jadi. Papaw ke-gap chattingan dengan Enggar oleh Bilba. Membuat gadis itu jadi bertanya heboh di tempat mereka menikmati boba. Tapi, seperti yang kita ketahui, Papaw si cuek bebek, hanya menanggapi asal mengapa pemuda itu chat Papaw duluan.
"Jangan-jangan, dia naksir lo, Paw," tebak Bilba ngasal, dengan raut wajah yang serius.
"Ini nih, salah satu kelebihan orang keren, bisa ngelakuin apa aja. Dan kekurangan cewek-cewek, ya baper. Padahal cuma ngechat, dikira naksir. Padahal cuma ngelike foto, dikira naksir," balas Papaw tak kalah serius.
"Tapi, kalo beneran gimana? Nah, lo udah berapa lama chatan sama Enggar?"
"Berapa, ya? Mungkin tiga bulanan, lupa."
"Tuh, lama, anjir! Gue aja baru tau lo udah chatan. Gue yang naksir, masa lo yang chatan."
"Bilba, dengerin gue. Gini ya, lo tau gue kan? Gue bakal cerita ke lo kalo itu hal yang penting, dan ini hal yang nggak penting, Bil."
"Tapi, dia chat lo."
"Gue biasa aja, sumpah. Demi apapun. Seandainya gue suka juga sama dia, gue bakal cerita sama lo, karena gue seneng dia chat gue. Tapi, ini nggak, kan?"
Dalam suasana yang memanas, sebab saling adu argumen. Bilba tiba-tiba tertawa tak jelas.
"Apa sih, kok ketawa?"
"Nggak, nggak, gue bercanda. Iya, gue tau lo kok, gue percaya sama lo. Nggak usah ngegas gitu lah, hahahah."
Papaw memasang wajah bete, kemudian menyedot bobanya kembali.
"Pokoknya, jangan berasumsi apapun tentang gue sama Enggar. Please!"
Sehabis menuruti BM-nya Bilba hari itu, ternyata perihal Enggar dalam dunia per-WhatsApp-an masih berlanjut. Papaw yang membalas itu-itu saja, topik yang makin ngelantur membuat ia malas untuk menambah panjang obrolan. Tapi, sumpah, kalau saja Papaw tipe cewek-cewek menye yang hatinya mudah digoyahkan, pastinya Papaw akan baper. Tapi, Papaw tau, pemuda ini benar-benar mempunyai aura yang dapat menarik cewek-cewek untuk baper padanya. Ibarat anak indigo, Papaw akan bersyukur telah diberi kemampuan tersebut, sehingga ia bisa mengetahui mana cowok yang main-main dan mana yang serius. Papaw yakin pemuda ini main-main. Hari itu, benar saja, pesan-pesan yang dikirimkan Enggar hampir membuatnya mual.
Enggar : lo tau film jumanji?
Papaw : tau
Enggar : udah nntn?
Papaw : baru yg 1
Enggar : yuk nntn sm gue
Papaw : gamau, mager
Enggar : lo suka genre apasih
Enggar : horor?
Papaw : engga, gasuka bgt gilaa serem
Enggar : apa dong? misteri?
Papaw : ngga suka gitu2an
Enggar : komedi suka?
Enggar : komedi suka?
Papaw : suka
Enggar : kalo sama gue, suka ga?
Papaw : ngga gar
Enggar : kalo gue yg suka lo gmn?
Papaw : pengen muntah
Enggar : njir hamil?
Papaw : eneg gue
Enggar : serius
Enggar : wkwkwk
Hampir setiap hari, Enggar seperti itu kepada Papaw, bukannya senang, Papaw malah pingin nabok pemuda itu. Satu, Papaw nggak suka orang yang suka bohong, kedua Papaw paling benci orang sombong. Papaw tau pemuda itu memang keren, semua orang tau, bahkan seluruh dunia tau. Tapi, pemuda itu selalu mempromosikan itu kepada Papaw. Dan Papaw tidak suka itu. Katanya begini—sewaktu emosi terhadap Bilba yang tak henti-hentinya menanyakan Enggar— "lo tetep keren tanpa lo promosiin diri lo. Dengan itu, lo punya nilai plus di mata gue. Tapi, dengan lo promosiin diri lo keren, kesannya murahan. Nggak cuma cewek aja yang bisa dibilang murahan, cowok juga ada yang murahan. Gue lebih suka cowok yang berkarisma tanpa dia sebut dirinya keren."
Papaw jadi hilang selera kapada pemuda itu.
********
Yang ada dipikiran semua orang ketika mendengar cerita tentang perempuan dan laki-laki didalam suatu novel atau film, pasti akan selalu berakhir dengan jadian. Tapi, untuk kisah Papaw ini tidak. Gadis itu memang tokoh utama dalam ceritanya, tapi ia masih kekeh pada prinsip ke-belum-tentuannya pada Enggar. Dan prinsip itu masih ia pegang sampai saat ini.
Gadis itu baru keluar dari ruangan, beberapa kali melihat jam tangannya. Langit sudah gelap ditambah mendung pula, jam sudah menujukan pukul 17:36, sebentar lagi adzan maghrib. Suasana kampus sepi, tidak banyak orang yang berlalu-lalang, mungkin karena memang sudah hampir maghrib ditambah mendung pula.
Sehabis kerja kelompok yang memakan waktu hingga petang, sekarang Papaw jadi dilema ingin pulang atau nanti saja setelah magrib. Papaw mulai mengikat tali sepatunya sambil duduk dikursi. Beberapa kali temannya berkata duluan dan dibalas oleh Papaw hati-hati.
Gadis itu bangkit, namun tiba-tiba saja pemuda yang sudah dari tadi duduk didekat lift memanggil Papaw.
"Fauzia?"
Papaw menoleh kaget, ada Enggar disana, sendirian.
"Eh, lo belom balik?" tanya Papaw terkejut.
"Belum. Abis rapat BEM."
"Oh, mau ada acara, ya?"
Pemuda itu mengangguk kecil. Pintu lift terbuka, keduanya masuk. Hanya ada mereka berdua didalam lift. Mengingat keduanya akrab hanya sebatas chat, Papaw langsung berpikiran bahwa dunia chat berbeda dengan dunia nyata. Lupakan bagaimana mereka berinteraksi di chat, sebab dunia chat tetaplah dunia chat. Dunia nyata tetaplah dunia nyata. Keduanya sedang berada di dunia nyata. Papaw tetap menjadi seorang Papaw yang cepat akrab di dunia nyata.
Pintu lift terbuka di lantai 1, mereka pun keluar.
"Lo langsung balik, Zia?" tanya Enggar kepada Papaw.
Papaw terkejut melihat langit sore hari ini, ia tak yakin dapat menjawab pertanyaan Enggar dengan tepat.
"Nggak tau nih, mendung," jawabnya seraya menatap langit. Baru ingin melangkahkan kaki, gerimis turun lumayan deras.
"Tunggu ujan berenti aja, jangan ujan-ujanan. Gue juga nunggu ujan." Enggar memperingati gadis itu yang hampir nekat melawan hujan. Papaw terdiam, kemudian membelokan langkahnya ke arah kursi untuk duduk disana. Enggar mengikuti. Suasana depan kampus sedikit ramai, tidak sesepi keadaan di dalam. Dua orang yang sedang meneduh dapat Papaw saksikan, sisanya hanya berlalu-lalang. Tidak terlalu banyak.
"Kenapa sih ujan? Gue kan mau pulang," gurutu Papaw tak terima. Enggar malah tertawa.
"Kok lo cuek banget dah di chat, tapi asik kalo ketemu," kata Enggar bingung.
"Lah, lo kenapa talkative banget di chat, aslinya kayak ngga punya mulut," balas Papaw membuat pemuda itu skak tak dapat menjawab, malah cengiran dari pemuda itu yang ia dapat.
"Menurut gue, di dunia ini ada empat tipe manusia," ucap Papaw mulai bercerita. "Ada tipe yang asik di chat, asik juga di real life. Ada yang nggak asik di chat, nggak asik juga di real life. Ada yang nggak asik di chat, tapi asik di real life. Mungkin lo bisa mengkategorikan gue sebagai tipe ke tiga. Dan, ada yang asik di chat, tapi aslinya nggak, kayak lo contohnya."
"Ya, gue nggak mau muna aja dalam dunia per-chattingan. Karena, kadang dunia chatting itu palsu. Lo bilang gini, padahal aslinya gitu. Banyak yang bisa di setting. Banyak yang bisa diumpet-umpetin. Asal main aman, lo bakal aman. Itu yang gue nggak suka. Mending gini aja, apa adanya di dunia nyata," jelas Papaw panjang lebar atas teori yang ia miliki.
"Nggak semuanya palsu lah. Asal lo mampu memfilter aja. Kalo gue sih gitu," balas Enggar angkat bicara juga.
"Misalnya apa?"
"Kayak yang waktu..... gue bilang suka sama lo."
"Kalo gue nggak percaya gimana?"
"Kalo itu serius gimana?"
"Lo bilang harus difilter. Setalah gue filter itu cuma modus."
"Lo harus liat dari sisi yang lain."
"Gue nggak percaya sama makhluk tampan ciptaan Tuhan. Tapi, gue tetep percaya sama Tuhan."
"Nggak semua cowok sama kayak yang lo kira."
"Kalo ternyata gue bener, gimana? Tentang asumsi-asumsi gue perihal lo."
"Misalnya apa?"
"Kalo lo nggak cuma chat ke gua doang."
Enggar diam sebantar. Pemuda itu jadi ingat tadi sebelum bertemu dengan Papaw, ia habis membalas pesannya Putri anak jurusan lain.
"Kok diem? Bener, kan?"
"Ya, jangan menyudutkan gue juga, Fau. Coba lo sendiri, gimana?"
Papaw menunjukan isi chat WhatsAppnya, hanya deretan nama-nama teman perempuannya dan nama pemuda itu.
"Semisal gue nyuruh lo buat nunjukin hal yang sama, gue yakin lo nggak bakal mau. Tenang aja sama gue. Gue bukan tipe yang maksa kok, hehe."
Enggar sudah kehabisan kata-kata, ia hanya dapat tersenyum memandang ke arah arah gadis cerdas itu. Dari sekian banyak cewek yang pernah ia ajak ngobrol, baru kali ini Enggar menemukan cewek yang dapat mematahkan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Enggar. Karena kebanyakan obrolan yang muncul antara Enggar dengan cewek lain, pasti cewek-cewek itu akan merasa nyaman dan senang. Tapi, kenapa tidak dengan Fauzia Anindya?
"Jadi, gimana?"
"Apa?"
"Kalo gue serius."
"Jangan serius-serius, nanti sakit."
"Gue dua rius, Fau."
"Gar, gue nggak percaya tipe cowok kayak lo."
DUAR!!!
Keluar sudah akhirnya kalimat yang selama ini hanya Papaw lontarkan kepada Bilba ketika Papaw marah, akhirnya dapat terlontarkan kepada orang yang tepat. Enggar mengernyit heran.
"Kenapa?"
"Pasti cowok-cowok modelan kayak lo bebas mau ngapain aja. Kenapa? Kerena mereka punya senjata, dan biasanya mereka ngelakuin itu buat jadi bahan mendekati cewek-cewek yang biasanya gampang baper. Tapi, kalo emang kebetulan asumsi gue benar, ya nggak apa-apa sih, artinya gue benar dan harus mawas diri."
Enggar agak tersinggung, tandanya ucapan Papaw barusan memang benar. Jika dilihat lagi, iya, Enggar memang beberapa kali chat dengan beberapa cewek jurusan lain, walaupun lebih sering dengan cewek yang sejurusan. Pikirnya, itu wajar, sebab dengan chat beberapa cewek, Enggar jadi bisa mencari tahu yang mana cocok untuknya. Iya, Enggar mengakui, memang beberapa kali obrolan dalam chat sering ada bercanda-bercandanya. Karena, niat Enggar memang bercanda, tapi malah cewek-cewek yang di chat oleh Enggar malah kadang salah mengartikan.
"Fau, menurut gue wajar cowok chat ke beberapa cewek, kerena mereka lagi mencari yang cocok. Mungkin, emang ada beberapa chat yang bikin mereka baper, padahal itu cuma bercanda."
"Nah, that's my point. Itu berarti lo berengsek. Jangan semua lo chat juga lah. Menurut gue, kalo lo udah nemu satu yang lo incer benar-benar, yaudah lo gencarnya hanya ke satu cewek tersebut."
Enggar tertawa, sekarang ia mengerti tipe gadis ini.
"Gue tau lo sekarang, lo nggak suka sama cowok yang sok kayak gue, karena mentang-mentang, terus jadi bisa ngelakuin apa aja."
"Alhamdulillah, nyadar. Karena, jangan mentang-mentang ya, Gar, jadi kesannya lo adalah player. Padahal nggak semua kayak gitu. Tapi, tetap aja stereotip orang terhadap cogan tuh nggak bagus."
"Dan, lo adalah salah satu diantara mereka."
Kali ini Papaw di buat skak oleh Enggar. Papaw terdiam sambil mengalihkan tatapannya kepada air hujan yang sedang berjatuhan.
"Fauzia, nggak semua orang yang lo kira sesuai sama asumsi-asumsi lo. Apalagi asumsi-asumsi lo tentang gue. Lo belum liat kebenaranya dari gue langsung. Mungkin iya, asumsi lo soal chat ke beberapa cewek. Fau, percaya sama gue. Kita semua laki-laki melakukan itu untuk mencari yang cocok. Kalo mereka udah nemuin yang cocok, pasti mereka cuma bakal chat ke satu cewek," ucap Enggar dengan intonasi serius. Pemuda itu sedang manatap Papaw, tapi Papaw malah memandang ke arah lain.
"Jangan menutup diri, Fau, soalnya gue lagi mencoba masuk. Gue tau lo pernah patah hati hebat, sampe lo nggak mau buka hati buat siapapun. Dan hal itu membuat stereotip yang lo bangun sendiri terhadap gue."
Hujan sore itu berhenti, menyisakan gerimis kecil yang masih turun. Hari sudah malam. Papaw mematung. Hatinya seperti berdesir. Darimana pemuda itu bisa tahu? Papaw seperti sudah kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki selain Ayahnya. Tapi, pemuda ini mencoba datang untuk menghapuskan asumsi-asumsi Papaw yang selama ini salah. Papaw masih belum merespon ucapan Enggar, kemudian ia bangkit dari duduknya.
"Gue nggak bisa langsung percaya gitu aja," ucap Papaw masih enggan menatap Enggar.
"Percaya sama gue, gue serius."
Papaw semakin gerah mendapati ujaran dari Enggar yang membuatnya harus berpikir lama. Enggar tak habis pikir, gadis ini benar-benar susah untuk diluluhkan. Tak seperti cewek-cewek kebanyakan, Papaw dapat membuat Enggar jadi ambis dari sebelumnya. Demi gadis itu.
Hujan malam hari itu benar-benar berhenti, sebelum benar-benar pulang, Papaw menyampaikan sesuatu kepada Enggar.
"Gue mau liat dulu, sampe mana lo bisa buat gue percaya soal asumsi-asumsi gue yang lo bilang salah. Gue duluan, ya, bye!"
Kemudian Papaw pergi melangkahkan kakinya menuju parkiran dan meninggalkan Enggar yang terkejut mendapati jawaban dari Papaw.
THE END
********
Untuk kelanjutan cerita dari Papaw dan Enggar sampai saat ini saya sebagai penulis cerita mereka masih belum tahu, apakah akan berkahir dengan happy ending sebab mereka jadian, atau sad ending sebab Papaw menolak Enggar. Semua masih belum dapat diputuskan.
Cerita ini hanya media penulis menyampaikan emosinya melalui tokoh Papaw, karena sering kali mendapati harapan-harapan yang ternyata palsu. Namun, lewat karakter Papaw yang cuek, penulis ingin menghadirkan sensasi baru, bahwa tidak semua perempuan dapat dikelabui dengan chat-chat manis ditiap malamnya.
Perlu ditekankan, bahwa ini BUKAN BASED ON TRUE STORY
Ini real imajinasi yang telah saya buat. So, don't you think this story is my real story. I just write something on my head, imagine I'm a character on the story, and play my character as I'm on the story supaya feelnya dapet.
Terimakasih untuk teman laki-laki dan perempuan saya, untuk pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan, dan jawaban kalian adalah refrensi untuk saya dapat merampungkan tulisan ini.
Terimakasih untuk teman laki-laki dan perempuan saya, untuk pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan, dan jawaban kalian adalah refrensi untuk saya dapat merampungkan tulisan ini.
Jadi, terimakasih banyak kepada kalian yang telah menyempatkan membaca cerita ini sampai pada part terakhir. Semoga apa yang kalian baca bisa bermanfaat untuk kalian. Aamiin. Terimakasih banyak sekali lagi untuk yang telah membaca.
Cerita Sebelumnya :
Cerpen Bagian 1 : Desas Desus
https://ikaikan.blogspot.com/2019/12/bagian-1-desas-desus_15.html?m=1
https://ikaikan.blogspot.com/2019/12/bagian-1-desas-desus_15.html?m=1
Cerpen Bagian 2 : Perkenalan
https://ikaikan.blogspot.com/2019/12/bagian-2.html?m=1
https://ikaikan.blogspot.com/2019/12/bagian-2.html?m=1
Comments
Post a Comment