Skip to main content

Cerpen #1: Suatu Ketika Tanpa Sengaja dan Menuai Cerita

  

Bagian 1: Fotokopi

Melati Azuramahdi, mahasiswi semester 6 Ilmu Komunikasi yang saat ini sedang disibukan dengan tumpakan tugas yang sedang menunggu diselesaikan. Melati bukan tipe mahasiwi yang mempunyai prestasi gemilang seperti Cahya, teman satu kelasnya yang memiliki segudang pencapaian di kancah nasional maupun internasional, dan sudah pernah mejandi sorotan di Instagram univeristasnya, serta sudah banyak dikenal di berbagai kalangan mahasiswa maupun dosen, terutama di jurusannya. Sementara Melati, hanya mahasiswi biasa yang masih berusaha mengoptimalkan perannya sebagai mahasiswi.

Beberapa kali ia menjadi Master of Ceremony dalam berbagai acara di jurusan, menjadi moderator di dalam seminar, bahkan menjadi pengisi acara talkshow secara live maupun online dengan tema yang Melati kuasai adalah tentang kolerasi antara peran mansusia dan kehidupan. Sebab entah kekuatan darimana, saat Melati iseng-iseng memutuskan untuk ikut lomba menulis esai di salah satu Universitas ternama di Indonesia, yang mengadakan lomba dengan tema tersebut, akhirnya Melati menang. Sejak saat itu, ketika nama Melati terpampang dalam flyer, maka yang akan dituliskan di sana adalah “Juara 1 Menulis Esai Tema Manusia dan Kehidupan di Universitas Brawijaya.”

Selain itu, keikutsertaan Melati menjadi anggota jurnalistik kampus membuat kemampuan menulisnya semakin berkembang. Ia juga bergabung dalam organisasi jurusannya dengan divisi seni budaya. Sayangnya, Melati sengaja tidak mengoptimalkan perannya di organisasi jurusan sebab ia harus membagi waktu antara organisasi lainnya dan bidang akademis yang ditempuhnya. Bagi Melati, hal tersebut bukan apa-apa, masih banyak mahasiswa lainnya yang lebih aktif dan mempunyai segudang, berjuta-juta prestasi yang mereka miliki. Melati hanya sebagian kecil dan sangat kecil yang sedang ia usahakan untuk terus berkembang.

Perempuan berambut sebahu dengan bulu mata lentiknya, membuat Melati terlihat semakin cantik bila ia tersenyum dengan mata sipitnya yang hampir tertutup. Badan mungilnya membuat siapa saja yang melihat menganggap ia masih anak SMP. Walaupun ia lumayan aktif di luar kampus, hal tersebut tidak menjadikan Melati kehilangan keunikan dirinya. Melati sering disebut si jenaka oleh teman-temannya karena sering berperilaku random tapi sukses membuat tertawa. Di balik sifatnya yang jenaka, Melati merupakan pribadi yang mudah menangis. Ia mempunyai trust issue yang membuatnya tidak percaya terhadap orang-orang di sekitarnya. Walau begitu, Melati mempunyai teman yang cukup banyak, ia gadis yang sedikit introvert dan sangat terbuka jika sudah sangat dekat.

Yang paling menyikasa adalah saat Melati butuh seseorang untuk menumpahkan ceritanya dan menangis sejadi-jadinya, tetapi Melati merasa tidak aman saat ia tumpahkan itu kepada orang di sekitarnya. Akhirnya, Melatinya selalu memendamnya sendiri dan menangis tersedu hingga matanya membengkak di pagi hari. Ia selalu merasa sesepi itu.

Selama 21 tahun juga ia banyak mengalami kegagalan dalam kisah cintanya. Seringkali merasa iri dan menyedihkan diri sendiri saat melihat atau berpapasan dengan muda-mudi yang sedang menuai kasih. Melati ingin juga, tapi ia selalu tak beruntung soal percintaan. Melati merupakan perempuan yang ceria, namun tak ada yang tahu kalau dibalik tingkahnya yang jenaka tersimpan air mata yang selalu ia keluarkan saat malam hari tiba. Melati menangis. Ia merasa yang paling tersedih di antara orang-orang. Apalagi ia sudah menduduki bangku perkualiahan semester 6 yang mana teman-temannya sudah banyak yang memiliki pasangan. Ada yang sudah menjalin hubungan dari SMA, awal masuk kuliah, bahkan yang baru-baru ini pun ada. Selama Melati menempuh perkuliahan, tak pernah ada satupun laki-laki yang ia pacari. Bukan karena Melati tidak suka, ia hanya takut. Takut perihal yang dekat menjadikannya pergi. Khawatir orang telah dekat dengannya menjauh. Ia selalu takut soal kepergian. Sehingga ia meragukan soal kebenaran. Mempertanyaan perihal mana yang datang dengan benar-benar tanpa pergi yang menyisakan tatapan nanar.

Saat di kampus, Melati lebih sering menghabiskan waktunya sendirian. Walau begitu, bukan berarti ia anti-sosial dan tak mempunyai teman. Ia mempunyai dua orang teman yang sangat dekat, namun ada waktu-waktu tertentu Melati akan bersama mereka. Seperti sekarang, ia pergi ke fotokopi seorang diri, bertujuan untuk memfotokopi materi yang diberikan dosen minggu lalu. Sebenarnya, bisa saja Melati minta Dinda –teman dekatnya– untuk menemani dirinya ke fotokopi. Namun, rasanya tidak perlu. Melati baru sempat memfotokopi materinya sekarang, itupun materi yang sudah di fotokopi terlebih dahulu oleh temannya.

Gadis mungil itu mengenakan celana kulot high waits berwarna dark blue yang ia padukan dengan blouse hitam ditambah totebag berwarna krem polos di tangan kirinya. Ia juga mengenakan sneaker putih andalannya, menambah kesan maskulin namun tetap feminim. Rambutnya yang hanya sebahu dibiarkan tergerai ditiup angin. Melati mulai menghampiri tempat fotokopi tersebut sambil mengeluarkan kertas-kertas yang ingin difotokopi. Melihat masih ada beberapa antrian orang di depan, Melati menepikan dirinya dan membiarkan orang-orang yang datang terlebih dahulu. Melati masih diam, pandangannya tak beralih ke kiri kanan. Beberapa orang yang telah selesai mulai pergi meninggalkan lokasi, Melati maju sedikit. Masih ada satu orang di dekatnya yang sedang duduk yang belum menyelesaikan tujuannya. Melati mendekat ke etalase dan menaruh kertasnya di sana.

“Fotokopi ya, Bang.” ujar Melati sambil melatakan kertas tersebut dan mulai menunggu.

“Siap Neng Melati, tunggu, ya!” jawab sang tukang fotokopi dengan ramah yang mana memang sudah akrab dengan Melati.

Pemuda yang sedang duduk di kursi sambil menunggu hasil print-an skripsi miliknya selesai jadi menoleh ke arah Melati. Memberikan tatapan seperti mendeteksi nama gadis ini dan di beberapa detik kemudian dan ia menyapanya.

“Melati?”

Melati menoleh, ia sedikit terkejut melihat pemuda yang menyebut namanya adalah Bang Revan, ketua BEM universitasnya.

“Hah, Bang Revan kenal gue? Darimana dia bisa kenal gue?” batin Melati bertanya-tanya kebingungan.

“Eh, Bang Revan,” jawab Melati masih terkejut melihat pemuda yang sangat terkenal di kalangan kampus itu menyapanya.

Tentu, semua mahasiswa pasti menganal seorang Revan Affandi, mahasiswa Ilmu Politik semester 8, ketua BEM di universitasnya yang sering kali menjadi ketua orasi dalam demo, belum lagi panggilan-panggilan untuk menjadi narasumber, bintang tamu di acara debat maupun talkshow di salah satu stasiun televisi terkenal. Yang paling baru, ia menjadi founder pegiat Sedekah Jalanan yang bertujuan untuk membantu anak-anak ataupun orang-orang yang kurang beruntung di jalan. Itulah yang Melati tahu, belum lagi ada hal-hal yang Melati tidak ketahui. Di kampusnya yang tidak terlalu jauh dari kampus Melati, bisa jadi ia menjabat juga sebagai ketua jurusan, organisasi lainnya. Ah, Melati tidak tahu, tapi yang pasti sekeren itu Bang Revan di mata mahasiwa biasa saja sepertinya Melati.

“Sini, Mel, nunggunya sambil duduk.” Bang Revan mulai bangkit dari posisi duduknya dan mempersilakan Melati duduk untuk menggantikan posisinya. Mengingat cuma ada satu kursi di fotokopi kecil ini maka Revan berikan kepada Melati. Fotokopi Berkah ini adalah satu-satunya fotokopi yang paling dekat dengan kampus Melati dan beberapa fakultas lain. Selain murah, fotokopi ini juga sangat strategis dan banyak mahasiwa yang memfotokopi di sini membuat mereka menjadi akrab dengan sang pelayan. Salah satunya Melati.

“Enggak apa-apa, Bang. Cuma bentaran kok, dikit lagi juga selesai,” kata Melati menolak dengan sopan.

Keduanya pun sama-sama berdiri.

“Ada kelas, ya, Mel?” tanya Bang Revan memulai obrolan.

Gadis itu sedikit gugup menatap wajah pemuda yang biasanya hanya ia lihat di story Instagram yang menampilkan repost-an saat ia sedang mengisi acara-acara, kini malah menyapanya. Melati masih terkejut dan heran kenapa Bang Revan bisa mengenal dan mengetahui namanya. Seperti satu banding dua belas, Melati hanya sebagian kecil mahasiswi di kampus ini dan ia bukan yang mahasiswi yang terkenal pula.

“Iya, ada, Bang.” jawab Melati singkat.

Kenapa Melati jadi aneh seperti ini. Seperti bertemu dengan artis saja, huh. Gadis yang biasanya talkative itu tiba-tiba jadi bungkam di hadapan pemuda ini. Melihat Revan dengan postur yang gagah dan tegas, menampilkan sisi leadership-nya walaupun sedang dalam situasi nonformal. Pemuda itu membiarkan rambutnya yang mulai menggondrong bertengger di sana. Revan mengenakan kemeja kotak-kotak dengan warna krem yang sengaja ta kia kancingi dan membiarkan kaos polos hitamnya terlihat, serta sneaker berwarna hitam dipakainya. Ada satu kesan yang Melati berikan saat melihat Bang Revan sedang diam, dia jutek. Namun, hal tersebutlah yang membuat Revan sangat khas dengan cirinya sebagai ketua BEM.

Melati jadi insecure.

Tiba-tiba tukang fotokopi memberikan kertas yang sudah selesai difotokopi kemudian diserahkan kepada Melati.

“Jadi berapa, Bang?”

“Tujuh ribu, Neng.”

Melati memberikan uang senilai sepuluh ribu kepada tukang fotokopi tersebut, ia menerimanya dan memberikan kembaliannya.

“Kembaliannya ambil aja, Bang.”

“Makasih, Neng Melati. Udah cantik, baik lagi. Semoga chatnya dibalas ya sama dosen, Neng.” Puji tukang fotokopi langganan Melati sambil berguyon mengingat Melati pernah curhat perihal chatnya yang belum juga dibalas dosen saat menanyakan tentang tugas yang ia belum mengerti.

“Hush, Bang! Jangan buka kartu di sini.” Melati membalasnya sambil tersenyum kecil dan ingin basa-basi pergi duluan kepada Revan.

Revan yang mendengar percakapan barusan antara Melati dan tukang fotokopi ikut tersenyum kecil dan mengerling. Hal tersebut menarik perhatiannya. Revan mengangguk kecil tetapi gerakannya samar-samar. Entah mengangguk karena apa.

“Bang Revan, duluan, ya!” Ucap Melati tersenyum dengan sopan.

Have a nice class, Mel!” Revan membalas senyum, sambil menatap punggung gadis mungil itu yang mulai menjauh. Namun, bibir Revan tak berhenti senyum hingga teriakan tukang fotokopi mengejutkannya.

“Bang Pres, udah selesai, nih. Emang cantik banget, Pres, baik, pinter lagi. Langganan fotokopi, Ane. Uhuy!” tukas tukang fotokopi yang menyadari Revan masih menatap gadis itu yang mulai menjauh dari pandangannya,

Revan merogoh sakunya dan memberikan uang tersebut sesuai nominal harga yang disebutkan tukang fotokopi di awal, tukang fotokopi tersebut menerima pembayaran Revan.

“Hahah, bisa aja, Bang.” Revan tertawa kecil sambil menerima hasil printan yang telah selesai dan berpamitan pergi. “Makasih, Bang. Semangat terus, Bang. Duluan, ya!” Revan pergi dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

***

Bagian 2: Follback

Setelah kelas hari ini selesai, Melati dan dua orang teman dekatnya; Dinda dan Tiara itu sedang asik menertawakan kejadian lucu sebelum mereka sampai di tempat makan dekat kampus. Pasalnya saat turun dari lantai lima menuju lantai tiga ada yang membuat mereka bertiga terbahak-bahak.

“Gue udah ngakak banget mau ketawa tapi gue tahan,” ucap Dinda saking gelinya tertawa seluruh wajahnya berubah menjadi seperti kepiting.

“Pas beberapa orang udah masuk ke lift, gue nggak terlalu ngeuh gitu depan belakang gue siapa, gue mah masuk aja. Gue mau pencet lantai tiga, eh cowok belakang gue juga ikutan. Jadi, tangan gue ketemu tangan dia, kayak film romance, anjir, malu banget!” Tambah Tiara menahan malu, Dinda udah puas tertawa setan.

“Gue juga ngakak. Harusnya sih tadi gue pasang soundtrack lagu yang di FTV, biar makin syahdu.” Balas Melati membuat Dinda tambah ngakak, kali ini tangannya sudah memukul bahu Tiara.

“Aduh, sakit, Din!” Kata Tiara menjauh dari Dinda si tukang pukul saat ketawa.

“Kalau kita jahat sih, udah dicie-ciein lo, Ti,” Dinda menambahkan.

“Mati aja lo Din, kalau besok papasan sama cowok itu. Awkward. Hahahah.” Melati tertawa geli membayangkan kemungkinan Dinda bertemu cowok itu dan mereka akan canggung.

“Udah ah, Mel. Sakit perut gue,” kata Dinda masih dengan posisi tangannya menutup mulutnya sebab masih tertawa tanpa henti.

“Terus, kalau gue ketemu cowok itu lagi, gimana dong? Ih, malu banget. Aaaaaa, lupain-lupain.” Tiara masih terus menahan malu sambil mencoba melupakan kejadian barusan.

Namun, tiba-tiba getaran notifikasi Melati membuat pandangan gadis mungil itu ke arah hapenya.

Revan_Affandi started following you.

Melati mematung. Ia terkejut bukan main bisa di-follback oleh seorang Revan Affandi. Mimpi apa Melati semalam. Pikirannya masih mencoba menerka-nerka apa yang membuat seorang Revan Affandi bisa mem-follback Melati. Apa jangan-jangan karena tadi mereka bertemu di tempat fotokopi? Tapi kan hanya sebatas bertemu dan bertegur sapa, tidak ada yang spesial. Melati masih sangat heran dan bingung. Tatapannya masih menatap layar hape dengan bertanya-tanya. Bibirnya memang tak melekuk senyum, tapi hatinya mulai tak bisa dikondisikan.

“Mel, kok diem? Lo nggak apa-apa?” tegur Dinda melihat Melati diam sejenak, Melati langsung moneleh.

“Eh,” Ia segera menekan tombol home pada hapenya. “Nggak apa-apa Din, abis baca berita yang lewat di notif hape,” alibinya.

 Mereka kembali melanjutkan aktivitasnya, mengobrol, menyantap makanan. Tiba-tiba, hape Melati bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk.

Revan Affandi: Baru mau follow, eh udah difollow duluan. Hehehe, sorry ya Mel baru difollback.

Melati mendapati satu direct message di Instagram dari Revan. Melati terkesibak. Kaget betul tiba-tiba di-follow dan dikirim DM oleh Bang Revan. Melati tidak langsung membalas pesannya, ia memandangi heran pesannya beberapa detik. Apa jangan-jangan benar dugaan Melati, soal tegur sapa di fotokopi waktu itu. Melati seolah sedang bermimpi tapi ini nyata. Jantungnya berdegup lebih cepat daripada biasanya. Bayangkan, jika dikirimi pesan oleh orang terkeren versinya. Melati senang tapi ia masih menyangkal tentang kebenaran ini.

Saat benar-benar tiba di kamarnya, selepas membersihkan diri dan membaringkan tubuhnya di kasur, Melati baru membalas DM dari Revan.

Melati Azuramahdi: Eh, iya Bang. Nggak apa-apa, santai aja heheheeheh

Dengan perasaan ragu, ia mengklik send di hapenya. Melati menjatuhkan hapenya ke kasur. Hatinya dag-dig-dug. Beberapa kali menutupi wajah dengan telapak tangannya kemudian kembali men-stalking akun Instagram milik Revan. Menggulir layar hapenya tanpa henti. Ia mengklik sebuah foto saat Revan menggengam mic dan sedang berbicara di hadapan orang banyak. Melati ingat acara ini, perayaan ulang tahun universitasnya. Saat itu Melati menjadi bagian dari terselanggaranya acara ulang tahun universitas, dan ia beberapa kali melihat kehadiaran Revan di sana, tapi ya sudah, sebagaimana masing-masing menjalankan tugas dalam acara saja.

Saat keasyikan stalking akun Instagram Revan, tiba-tiba getaran di hapenya menujukan sebuah DM yang dibalas oleh Revan.

***  

Bagian 3: Pulang Bareng

Waktu sudah menujukan pukul 17.40, sehabis bertemu dengan teman-teman satu organisasi jurusan dalam rangka acara makan-makan dan ngobrol bersama, kini Melati kelabakan bagaimana ia harus pulang ke rumah. Acara selesai sudah dua puluh menit yang lalu, hingga kini kakak laki-lakinya belum juga menjemput Melati. Harusnya tadi siang saat kakaknya meminta meminjam motor milik Melati, ia menolak. Namun, apa boleh buat, sudah terjadi pula. Melati selalu sebal dengan Mahesa, kakak semata wayangnya itu bisa sewaktu-waktu memakai motor milik Melati, tetapi tidak sebaliknya. Melati tidak diperbolehkan meminjam mobil milik Mahesa. Mahesa bilang jika ia meminjam motor Melati, maka saat Melati meminta untuk dijemput atau diantar, ia akan sigap memenuhi permintaannya. Namun, sampai sore ini pun Mahesa tidak mengangkat telfon Melati.

Gadis mungil itu berjalan pelan-pelan keluar dari pintu gerbang kampus. Pasti akan memakan waktu lama jika berjalan kaki. Dinda dan Tiara yang juga ikut kumpul-kumpul tadi, sudah pulang dua puluh menit yang lalu. Dinda pulang bersama pacarnya yang anak jurusan sebelah. Mereka suda menjalin hubungan sejak semester tiga lalu. Kalau Tiara sudah pulang dengan ojek online yang dia sudah pesan saat tanda-tanda acara ingin selesai tadi. Sayangnya, Melati tidak pernah mempunyai aplikasi ojek online di hapenya. Pikir Melati, motor yang diberikan orangtuanya selalu stand by jika Melati butuh, jadi ia tidak perlu memesan ojek online. Jika naik angkutan umum, bisa saja, tetapi Melati harus berjalan sekitar lima belas menit menuju jalan raya. Tidak ada pilihan, mau tidak mau ia berjalan menuju akses angkutan umum itu berada.

Sambil terus berjalan ia masih berusaha menghubungi kakaknya, berharap kakaknya itu segera datang di depan mata. Beberapa kali Melati berhenti melihat kiri kanan, wajahnya terlihat cemas. Tiba-tiba dari persimpangan jalan, seorang pemuda yang sedang mengendarai mobil, pandangannya teralih pada seorang gadis dengan totebag krem yang sepertinya ia kenali. Pemuda itu mempercepat laju kendarannya untuk mengimbangi langkah gadis itu. Dari jarak yang lumayan dekat, pemuda itu langsung bisa mengetahui siapa gadis yang terlihat resah dan cemas hingga beberapa kali melihat hapenya. Kini mobil pemuda itu seimbang dengan langkah gadis mungil di trotoar. Ia membuka kaca mobilnya dan memanggil.

“Melati?”

Melati menoleh ke sumber suara, seorang pemuda membuka kaca mobilnya yang berwarna hitam. Melati terkejut.

“Bang Revan?”

Revan memberhentikan mesin mobilnya.

“Kok belum pulang?”

“Tadi abis kumpul sama anak-anak. Ini lagi nunggu jemputan kok, tapi …”

Belum selesai Melati mengahabiskan kalimatnya, Revan langsung memotongnya.

“Bareng aja, Mel.”

Melati menganga, dia juga sangat bingung. Sementara kakaknya belum mengangkat telfon, yang ia takutkan saat Melati sudah mengiyakan tawaran Revan tiba-tiba kakaknya datang. Bisa kena semprot dia. Apalagi jarak rumah Melati dengan kampus hampir memakan waktu lima puluh menit.

“Tapi, ini lagi nyoba hubungin kakakku, Bang. Kalau nggak searah, gimana? Aku ngerepotin nanti, Bang. Bang Revan darimana dan mau kemana?”

“Dari rumah dan ini mau ke rumah sakit. Ada seniorku yang sakit, jadi mau jenguk. Nggak ngerepotin kok, Mel.”

Di tengah-tengah pembicaraan, telfon Melati berbunyi. Terdapat satu panggilan masuk dari nomor yang tak terdaftar di kontaknya. Tanpa basi-basi Melati langsung mengangkatnya.

“Halo, Mel. Ini gue Rino, temannya Mahesa. Mahesa pesan ke gue kalau dia nggak bisa jemput lo. Soalnya masih ada urusan di kantor sambil kumpul sama anak-anak kantor. Mahesa nggak bisa angkat telfon, hapenya ditinggal di kantor.”

“Oh, nggak bisa, ya. Yaudah, nggak apa-apa. Makasih, ya, Kak.”

Sambungan pun terputus. Revan yang melihat obrolan barusan tanpa lama-lama langsung mempersilakan Melati masuk.

“Masuk, Mel.”

Dengan perasaan tak karuan, antara tidak enak, malu tapi mau bagaimana lagi, Melati membuka pintu mobil Revan dan ia duduk di samping Revan. Selama di dalam mobil, terjadi kecanggungan antara Melati yang tidak enak dan malu juga. Akhirnya ia beranikan untuk membuka obrolan.

“Bang, makasih banyak, ya.”

Revan menoleh sebentar, dilihatnya ada wajah Melati yang tampak ditekuk. “Sama-sama. Santai aja, Mel.”

Melati mengigit bibirnya, ia setengah mati penasaran mengapa Revan bisa mengenalnya, di antara ribuan mahasiswi yang ia kenal lainnya dan bisa tiba-tiba di-follback dibanding anak-anak kampusnya sendiri belum tentu bisa mendapatkan follback dari seorang Revan Affandi, lalu sekarang diberi tumpangan pulang. Ah, Melati tidak bisa menahannya.

“Nggak enak aja sih, Bang. Lagian aku mikirnya aku bukan siapa-siapa dan aku kaget aja Bang Revan bisa kenal aku, aku juga bukan mahasiswa yang terkenal kayak Bang Revan.”

Gadis itu menggigit bibirnya lebih keras, tangannya tak berhenti untuk membuat gerak. Huh. Barusan Melati ngomong apa sih, muter-muter seperti itu. Revan tertawa kecil.

“Mari kita bedah pertanyaan dari Melati. Nggak usah engga enakan, aku santai kok. Bukan siapa-siapa, gimana? Kamu Melati anak Ilkom semester 6. Iya, kan? Aku tau kamu udah dari lama kok, waktu kamu ngisi event di fakultasmu. Aku nonton dan liat kamu. Jadi moderator, ya, kalau aku nggak salah.” Ia memberi jeda terhadap jawabannya, kemudian tertawa.

“Nggak, Mel. Semua makhluk itu sama di mata Tuhan. Jadi terkenal bukan berarti aku nggak boleh kenal sama kamu, kan? Pun kamu bukan berarti mau jauhin aku, kan? Anak-anak yang ketemu aku kalau di luar, biasa aja kayak teman. Aku juga kalau di kelas, biasa aja, jadi mahasiwa yang beberapa kali absen. Hahaha.”

“Kalau bahas absen kelas karena demo, itu udah beda peran lagi ya bukan jadi mahasiswa biasa aja.” Kali ini Melati ikut menyahuti diiringi tawa kecil. Revan ikut tertawa juga. Suasana sudah mulai mencair, Melati sudah bisa tertawa tanpa takut.

“Itu yang paling penting, tahu kapan perannya digunakan.”

Spontan pertanyaan Melati di kepala langsung ia keluarkan.

“Cara bagi waktu dengan peran yang kita punya, gimana tuh, Bang? Apalagi di semester tua gini, lagi sibuk banget ngurus skripsi. Pasti kan seorang Bang Revan nggak cuma sibuk di akademis, tapi organisasi dan lain-lainnya juga. Nggak mungkin jadi amuba juga, kan, harus membelah diri.”

Mendengar pertanyaan Melati, Revan tertawa lagi. “Kecil dong kalau jadi amuba.”

“Kita harus punya goal, Mel. Punya tujuan. Kita bentuk tujannya apa dulu. Kalau udah dibentuk, proses apa yang kita jalanin sekarang akan berdampak sama tujuan kita. Nah, proses inilah yang akan memakan waktu. Biar waktunya nggak kebuang, kita harus bisa mengaturnya.” Sambil menyetir, Bang Revan menjelaskan dengan serius.

“Misal, short-term plan aku sekarang mau lulus tepat waktu. Usaha yang kulakukan apa? Mengerjakan skripsi lebih awal, di samping organisasi yang mulai kukesampingkan. Jadi mahasiswa itu bebas sebebas-bebasnya. Tapi, kita harus tahu yang ingin kita prioritaskan, Mel.”

Melati mengangguk paham. Tak diragukan lagi mengapa Revan terpilih menjadi ketua BEM. Ia memang cerdas di bidangnya. Karena Melati bingung ingin merespon apa, akhirnya ia terdiam. Revan yang menyadari itu jadi menegur Melati.

“Kok diam, Mel? Aku ada salah kata, ya?”

Melati gelagapan. “Ah, nggak. Jadi mikir aja, jenuh juga ya kuliah. Bang Revan sih enak, udah mau lulus dikit lagi.”

Mendengar itu, Revan tertawa sambil menoleh ke arah Melati di sebelah kirinya. Melati ikut menoleh juga, wajahnya menampilkan kecemberutan mengingat tugas yang setiap hari tak ada habisnya jam tidurnya terganggu. Melati mengembalikan lagi pandangannya ke depan, ia mengigit bibirnya. Ah, Melati takut salah mengatakan sesuatu sehingga Revan akan menilai ia hal-hal yang tidak Melati harapkan. Padahal Melati tidak biasanya seperti ini.

“Mel, semua berproses. Hal sekecil apapun ada prosesnya. Aku yakin kamu udah tahu, tapi kamu lupa. Apa yang kamu lihat enak, belum tentu enak. Sama halnya ketika kamu ngelihat aku enak, udah mau selesai studinya, udah tinggal sidang doang. Tapi, dulu juga aku sama kayak kamu, ada capeknya, ada bosennya, ada nangis-nangisnya dan baru bisa sampai di titik ini.”

Revan mengubah intonasinya, kini jadi melambat.

“Semua hal ada prosesnya. Pun kuliah. Sama kayak waktu kamu dilahirkan dan jadi seperti kamu sekarang. Bayi agar bisa sampai ke tahap berjalan, dia pernah merangkak dulu baru bisa berjalan, kan? Itu pun kondisi jalannya belum sempurna, pasti jatuh terus nangis. Prosesnya lebih banyak di situ. Jatuh, nangis, jatuh nangis. Hingga pada akhirnya dia mulai bisa berjalan dengan sempurna pelan-pelan. Belum sempurna pun dia masih terus nyoba buat bisa berjalan dengan sempurna.”

“Maka perinsipku adalah kalau aku nggak bisa lari buat mengejar tujuanku, ya aku berjalan. Kalau berjalan aku nggak bisa, aku akan merangkak. Asal jangan berhenti.”

Kalimat terakhir yang dilontarkannya diiringi senyuman. Merasa kagum dengan public speaking Revan, saat ia menjelaskan tanpa ada kata yang salah ucap. Melati yang mendengarkan ucapan Revan dengan khidmat, masih memikirkan perjalanan kuliahnya hingga bisa pada titik ini. Seringkali ia mengeluh, menangis akibat tugas yang tak ada habis-habisnya, jam makan yang menjadi acak-acaran serta jam tidur yang tidak teratur. Namun, Melati berhasil melwati itu.

“Udah, udah. Nanti malah bikin kepikiran, jalanin aja. Oke?”

Seperti cenayang, Revan seolah bisa menabak isi kepala Melati saat ini. Melati yang mendengar itu, jadi mengangguk dan menyiratkan senyum tipisnya. Suasana hening beberapa menit kemudian. Melati kembali bungkam. Perjalanan lima menit untuk sampai rumah Melati terasa sangat lama apabila yang di hadapan dia sekarang adalah orang yang belum akrab.

“Mel, sebelum sampai rumah, boleh minta nomor Whatsappnya?”

Melati terbelalak saat pertanyaan yang diajukan secara tiba-tiba ketika sedang tidak ada percakapan.

***


Baca cerita selanjutnya:

Cerpen 2#: Intensitas Temu dan Harap yang Menggebu

https://ikaikan.blogspot.com/2021/08/cerpen-2-intensitas-temu-dan-harap-yang_24.html 

Cerpen 3#: Bukan Tempat Berpulang

https://ikaikan.blogspot.com/2021/08/cerpen-3-bukan-tempat-berpulang_24.html



Comments

Popular posts from this blog

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...

Sing 2 (2021): Ambitious Koala “Buster Moon” to perform at Redshore

The audience's enthusiasm for the first film, "Sing" (2016), made this film succeeds in getting a 2017 Golden Globes nomination which was included in the Best Original Song – Motion Picture category. After five years, the writer and director of this film, Garth Jenning, has finally decided to make the sequel to the "Sing 2" film released in 2021. The 112 minutes "Sing 2" film produced by Illumination is an animated musical comedy film, then distributed by Universal Studios. The first film only featured characters voiced by Matthew McConaughey, Reese Witherspoon, Scarlett Johansson, Nick Kroll, Taron Egerton, Tori Kelly, Nick Offerman, and Jennings. The sequel features new voice actors like Halsey, Pharrell Williams, Bobby Cannavale, etc. Not much different from the previous film, "Sing 2" also presents scenes with accompanying songs like an animated musical that can blind the audience to sing along. Dream as high as possible, and prove that...

Ironi dalam Penyajian Tontonan Berkualitas di Televisi Sekarang Ini

            Perkembangan zaman yang canggih dapat membuat adat budaya serta etika mulai mengalami pergeseran. Gaya hidup pun mulai mengalami perubahan dan seluruh sendi-sendi kehidupan mulai mengikuti. Salah satunya tontonan di televisi. Televisi merupakan salah satu media yang tak lepas dari kehidupan kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, televisi merupakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar. Menurut fungsinya televisi dapat memberikan informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Seiring berkembangnya zaman tayangan di televisi semakin terus berubah. Namun, tayangan televisi dini hari lebih banyak yang hanya memperhatikan kuantitas daripada kualitas. Eksistensi televisi kini tergantikan dengan adan...