Bagian 4: Warung Bu Ijah
Sejak kejadian kemarin soal tebengan dan nomor WhatsApp, Melati belum ambil pusing mengenai Revan. Jujur, ia masih bingung sekaligus senang, Melati tidak munafik. Namun, di lain sisi ia juga takut. Melati takut jika rasa senangnya yang berlebihan tiba-tiba membuat hatinya terasa ngilu saat diingatkan kepada traumanya dalam kisah percintaan. Seketika bibir yang tadinya terlukis senyum bisa berubah menjadi tetesan air mata. Selalu begitu. Hatinya terasa nyeri saat mengingat kisah cintanya kemarin-kemarin. Kejadian kemarin masih tersimpan rapi di ingatannya dan belum mau dibagikan kepada dua orang teman dekatnya. Melati harus bisa mengntrol perasaannya. Ia tahu ini akan sulit, sebab di hadapannya sekarang adalah orang nomor satu di kalangan mahasiswa yang mana para penggemarnya banyak. Melati hanyalah sebagian kecil bak butiran debu. Tak terlihat. Namun, tak apa.
Seperti hari ini, tak apa kepalanya pusing akibat tugas menumpuk tetapi untuk mampir ke warung makan Bu Ijah tidak boleh terlewat. Warung makan ini adalah warung terfavorit anak-anak kampus, tak jarang mahasiswa fakultas lain berbondong-bondong datang hanya untuk makan di warung Bu Ijah, demi mencicipi ayam geprek dengan sambal khasnya. Bu Ijah tak hanya sekedar menjual menu utama ayam, tapi ada juga varian makanan yang notebenenya tidak terlalu berat, seperti roti bakar, burger dan lain-lain untuk sekadar menemani waktu santai dan me-refresh otak.
Seperti yang Melati lakukan sekarang, memesan roti bakar rasa kesukaannya, coklat keju ditambah cheese rolls sebagai menu terbaru di warung Bu Ijah serta es kelapa kesukaannya. Ia duduk seorang diri di meja nomor 10, sengaja memilih tempat yang agak menepi, syukurnya warung Bu Ijah tidak terlalu ramai. Jadi, Melati bisa makan tanpa melihat banyak lalu-lalang orang yang bisa membuat kepalanya tambah pusing. Saat bubaran kelas tadi, Melati sudah mengajak dua orang temannya untuk makan siang atau sekedar ngemil di warung Bu Ijah, tetapi keduanya tidak bisa. Yang satu mau langsung pulang karena sama pusingnya seperti Melati dan ingin langsung menyelesaikan tugasnya. Yang satunya lagi mau memenuhi BM dirinya sendiri baru mood mengerjakan tugas yang mana deadline-nya empat hari mulai dari hari ini. Belum lagi masih ada dua tugas yang belum selesai. Melati ingin teriak.
Wajahnya kini sudah tergeletak di meja, sambil menunggu pesanannya datang, beberapa kali ia mengetikan sesuatu di laptop yang berada tepat di depannya. Walaupun ia sudah pusing tujuh keliling tetapi Melati masih berusaha mencicil sedikit demi sedikit agar tugas yang membuat sakit kepala ini segera selesai. Sambil mengetikan huruf-huruf hingga menjadi kalimat di laptopnya, Melati dikagetkan oleh pesan WhatsApp yang masuk ke hapenya. Kiranya pesan tersebut berasal dari Dinda atau Tiara yang berubah pikiran jadi ingin makan ke warung Bu Ijah, ternyata bukan.
Bang Revan: Mel, hari ini ada kelas?
Melati mengernyit heran dan segera membalas.
Melati: Udah selesai, Bang. Kenapa emang?
Tanpa menunggu lama, pesan itu langsung dibaca dan dibalas. Melati penasaran.
Bang Revan: Udah pulang?
Melati: Belum
Bang Revan: Terus?
Melati: Lagi di warung Bu Ijah, sedang berkutat dengan pusing akibat tugas huft
Bang Revan: Sama teman-teman, ya?
Melati: Nggak, sendiri
Bang Revan: Oke, tunggu. Otw.
“HAH?!!!”
Spontan Melati tersontak, tubuhnya menjadi tegap tiba-tiba. Kaget betul. Siapa yang tidak terkejut bila tiba-tiba seorang Pres Revan mau tiba-tiba menghampiri Melati. Melati merutuki diri, harusnya tadi ia tidak bilang sedang di sini dan seorang diri. Namun, Melati tidak berani untuk mengatakan yang tidak sesuai dengan keadaannya. Makanan pesanan Melati belum datang tetapi Revan sudah datang lebih cepat daripada makanannya.
“Hai, Mel!” Sapa Revan begitu menghampiri Melati dan langsung mengambil tempat duduk di depannya.
“Loh, lagi nggak ada kegiatan, Bang?” Tanya Melati spontan atas keheranan ini.
“Ada, kata siapa nggak ada. Ini mau ngerjain di sini.”
Dengan wajah yang terlihat serius, Revan mengeluarkan laptop yang berwarna silver dari tasnya. Melati tak berani berkutik, bahkan ia ingin gerak saja rasanya takut diterkam. Untungnya, pelayan Bu Ijah sudah datang membawakan pesanan Melati. Melati menerimanya dengan sopan.
“Makasih, Mas.”
Melati melirik Revan yang masih terlihat serius di depannya.
“Mau dipesanin apa, Bang?” Melati menatap Revan sambil mengajukan pertanyaan.
“Nggak usah, aku biasa pesan kalau udah mau selesai. Hehe.” Jawabnya dengan jari-jari yang kembali mengetikan keyboard. Melati tertegun. Malah Melati pesan makanan terlebih dahulu sebelum nugas, biar kesannya tidak terlalu serius dan bisa santai sambil makan. Revan masih berkutat dengan skripsinya, entah kedatangan Revan di depannya sebagai sihir atau apa, tetapi tiba-tiba Melati jadi lancar mengerjakan tugasnya, hingga makanan yang dipesan belum disentuh sama sekali saking fokusnya.
Lima belas menit berlalu, Revan menyadari tidak ada komunikasi di antara mereka berdua. Melihat makanan Melati yang masih utuh, ia menegurnya.
“Kok makanannya nggak dimakan, Mel?”
Melati menoleh, “Ini sebentar lagi mau dimakan.”
Revan mengangguk dan pandangannya sedang melihat ke sekeliling. Beberapa kali menemui teman angkatan dan juniornya sedang makan juga, mereka mendapatkan tatapan penasaran dan bisik-bisik dari beberapa pasang mata yang memandang. Seperti saat ini, juniornya Revan menotis ada dirinya sedang makan di rumah Bu Ijah dan menyapanya.
“Oy, Pres Revan! Makan, Pres,” sapa pemuda berambut gondrong itu membuat pandangan Melati teralih.
“Makan, Ji, yang banyak. Biar kenyang, jangan makan teman,” sahut Revan dengan cengiran.
Melati merasa kikuk. Bagaimana tidak, di hadapannya sekarang adalah seorang yang pasti dikenal seluruh mahasiswa di kampusnya, apalagi mereka sedang makan di tempat yang begitu terkenal di kalangan anak-anak kampus. Melati menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mulai mengambil es kelapanya dan meminumnya.
“Minum, Bang.”
“Iya, lanjut. Aku mau order dulu, ya.”
Melati mengangguk mengiyakan, Revan pergi menuju tempat order yang berada di depan. Sambil makan roti bakar yang Melati pesan, pandangannya melihat ke sekeliling dan beberapa kali mendapati pasang mata ke arahnya. Batinnya langsung bergeming. Am I the one who’s sit with him? Atau emang Revan selalu seperti ini ke teman perempuan lainnya? Kalau iya, tapi kan Melati bukan temannya. Melati adalah juniornya. Dan kalaupun memang iya lagi, mengapa semua pasang mata menatap mereka seperti itu. Ada rasa takut saat dirinya Menjadi sorotan, tetepi Melati tidak munafik juga kalau ia senang bisa ter-notice oleh Revan.
Revan kembali dengan senyum sumringahnya. Ia menyapa Melati.
“Hai, Mel.”
“Udah?”
Pemuda dengan pembawaan yang tenang itu mengangguk, gerakannya kini membuat peregangan pada otot-otot tubuhnya terlihat tanda-tanda Revan ingin rehat sejenak. Pemuda itu tiba-tiba cengengesan melihat wajah Melati yang tepat berada di depannya. Melati heran.
“Kenapa sih, ada yang salah?” tanya Melati heran dengan dahi yang mengkerut.
“Mukanya lucu kalau lagi tertekan.”
Revan malah tertawa kecil.
“Tertekan banget, maklumin aja,” jawab Melati jutek. Tiba-tiba dirinya merasa overwhelm entah akibat dari sorotan banyak orang ditambah tugas yang menumpuk membuat kepalanya ingin pecah dipaksa memikirkan semua ini. Belum lagi perbuatannya Revan ini dan yang lain-lainnya.
Pemuda yang berada tepat di depan wajahnya itu memasang senyum tak henti-henti, melipat kedua tangannya, meletakan di atas meja, seperti posisi siap anak SD dan memajukan wajahnya serta menatap Melati. Melati yang melihat itu, reaksinya jadi menjauhkan badan. Takut Revan melakukan sesuatu yang tak terpikiran sebelumnya.
“Mel, percaya nggak nanti pekerjaan kamu selesai? Pasti percaya, dong. Melati, apa yang kamu hadapin sekarang, tugas yang kamu rasa nggak ada habisnya, pikiran yang setiap malam rasanya berisik banget, itu bakal berlalu kok. Aku juga mahasiswa, aku ngerti banget rasanya. Tugas-tugas yang sedang kamu kerjaan sekarang ini adalah sebuah proses menuju selesai.”
Pelayan datang sambil membawakan pesanan milik Revan, segelas orange juice dan pisang keju. Revan mengucap terima kasih, ia langsung menyambar orange juice-nya.
“Melati masih ingat obrolan kita minggu lalu? Kalau kita punya tujuan maka proses pun otomatis akan ikut serta di dalamnya, ingat?”
Dengan intonasi yang jelas serta pembawaan yang tenang, Melati mengangguk.
“Nah, itu. Tujuan kamu saat ini adalah ingin semua beban yang diampu cepat-cepat selesai, kan? Sebenarnya kamu udah tahu kalau ingin cepat selesai yaitu dikerjain. Peace, peace. Pasti dalam hati Melati bilang, ‘ngomong doang sih enak,’ iya, kan? Tapi, pasti kamu lupa soal management proses di dalamnya, ya?”
“Apa komponen yang ada di dalam management proses itu?”
“Perencanaan dan strategi proses, tentunya ini penting untuk mengawali gambaran dari tugas yang mau kamu kerjain, Mel. Kamu buat jadwal pembagian hari dan tugas. Seperti, dua hari ini dipakai buat tugas yang lebih dekat deadline-nya, besok dipakai untuk tugas yang lain. Jangan push too hard to yourself. Kamu harus tahu kapasitas dirimu sendiri. Kalau kamu nggak bisa nyelesain tugas tersebut dalam satu hari, it’s ok, Mel. Kamu boleh ngerjain secara bertahap dengan sistem cicil.”
Melati terdiam, ia tak pernah memikirkan itu. Di pikirannya, apabila terdapat dua tugas maka dua hari tersebut harus selesai walaupun deadline dari tugas tersebut tenggat seminggu. Melati tak suka hal yang bertumpuk, ia selalu ingin menyelesaikan dalam waktu dekat. Namun, benar apa yang dibilang Revan. Melati belum mengetahui kapasitas dirinya sendiri.
“Tapi kan, biar cepat selesai, Bang. Nggak apa-apa dong.”
“Selesai tapi nggak optimal atau santai, optimal dan selesai?”
Melati terdiam.
“Ini yang namanya time management dalam proses, Mel. Cobain, deh. Atau opsi lainnya gini, misalnya kamu satu hari ini mau malas-malasan dan santai-santaian tanpa mikirin tugas dan apapun. Anggaplah sebagai hiburan diri. Tetapi, esok harinya kamu harus melakukan hal yang sama dengan tugasmu. Pantang untuk melakukan apapun sebelum tugasmu selesai. Kalau aku pakai yang opsi pertama. Nggak terlalu ngebut tapi nggak nyantai juga. Tenang.”
Saat ia mengucapkan kalimat terakhir, Revan melontarkan senyumannya. Melati tersadar, apa yang ia lakukan belakangan kemarin terlalu memaksa hal yang belum bisa selesai tetapi harus selesai. Alhasil ia tertekan oleh tugas-tugas yang di ekspektasinya harus sudah selesai.
“Jangan dipikirin, tapi kerjain. Kepala kamu tuh overthinking terus isinya.”
Melati memanyunkan bibirnya, raut wajah Melati berubah jadi sedih. Apa yang dibilang Revan memang benar, kepalanya selalu ramai dan overthinking. Memikirkan tugas-tugas yang padahal belum selesai tetapi sudah berpikir gagal duluan.
“Overthinking tuh bikin capek tahu, Mel. Kamu nggak perlu mikirin hal-hal yang nggak seharusnya kamu pikirin. Kamu nggak perlu mikirin gagal dalam tugasmu padahal masih dalam proses pengerjaan. Kamu nggak bisa kontrol semua hal dalam kehidupan, Mel. Hal-hal yang belum terjadi itu bukan kontrol kita. Tapi, apa yang hari ini terjadi masih kamu bisa antisipasi dan gunakan kontrolmu.”
Revan menjeda ucapannya, wajahnya ia dekatan ke wajah Melati, gadis itu tak berontak, ia masih murung.
“Melati,” Pemuda itu menurunkan intonasi suaranya, sehingga terdengar lembut, “ketakutan-ketakutan di kepalamu itu belum tentu akan terjadi. Ber-planning memang bagus untuk menyusun langkah yang ingin kamu lakukan dengan mudah, tapi jangan sampai terlalu jauh dan detail. Kamu nggak punya kontrol lebih. Jangan bikin capek tubuh sama pikirannya. Coba deh mikir, inget nggak kapan terakhir kali kamu ngerasa baik-baik aja tanpa mikirin hal yang belum terjadi di depan?”
Melati menggeleng, yang ia ingat adalah rasanya lelah. Walaupun sedang tidak dalam beban memikirkan tugas, ia memikirkan apa yang terjadi setelah ini.
“Cobain deh, Mel. Biar ngerasin rasanya jadi orang tenang, santai tapi tetap optimal. Kayak aku, hehehe.” Revan menyengir.
Benar juga! Yang Melati lihat dari Revan, ia tetap terlihat tenang walaupun Melati bisa menebak kepalanya seperti sedang diamuk massa sebab harus bertarung dengan skripsinya, belum lagi sidang skripsinya. Huh, tidak kebayang menjadi Revan. Pasti nanti Melati akan merasakan itu, tapi rasanya ia takut duluan.
“Bang Revan sebenarnya anak fakultas psikolog, ya?” celetuk Melati membuat Revan tertawa, jawabannya di luar ekspektasi yang Revan kira.
“Kirain mau jawab iya atau nggak. Hahahaha. Nggak, Mel. Aku senang aja mempelajari tentang Self-Management, Self-Improvement dan self-self yang lainnya. Walaupun kita bukan berada di jurusan yang nggak concern dalam bidang tersebut, bukan berarti kita nggak bisa belajar kan. Sama kayak prinsipku, jurusanku memang Ilmu Politik, tetapi bukan berarti aku nggak mempelajari yang lain, aku masih terus mempelajari banyak bidang yang menurutku menarik dan punya impact yang besar, Mel.”
Melati mengangguk lagi seraya tersenyum, dirinya merasa seperti sedang berada di dalam kelas seraya mendengarkan dosen menjelaskan materi. Tak heran banyak yang menganggumi seorang Presiden Revan Affandi, dirinya memang mempunyai personality yang menarik yang menjadikannya bisa sampai pada titik ini.
“Kenapa senyum?”
Melati menggeleng. Revan langsung mengalihkan ke pertanyaan lain.
“Hari ini pulang naik motor atau dijemput lagi?”
“Hari ini aku udah download aplikasi ojek online, jadi mungkin nanti naik ojek.”
“Bareng aja, daripada harus bayar dua kali lipat buat ongkos.”
“Nggak enak aja sih, Bang, gara-gara minggu lalu juga bareng.”
“Nggak enak mulu, nanti orang seenaknya sama kamu.”
“Iya, sih, tapi…”
“Aku menawarkan aja sih, Mel. Di samping bisa hemat dan bisa ditabung uangnya. Iya, kan?” kata Revan masih berusaha menawarkan.
Melati berpikir, iya juga sih, bisa lebih hemat. Namun, masalahnya Melati malu dan tidak enak.
Tapi nggak apa-apa, deh. Malunya hari ini aja, besok gue nggak mau bareng lagi. Bahaya dan bisa terancam nih hati gue, batinnya.
“Iyaudah, deh.” Melati tersenyum kaku dan dibalas senyum juga oleh Revan. Selanjutnya Melati teringat sesuatu, ia belum membayar semua makanannya dan bangkit dari posisi duduknya kemudian memutuskan pergi ke kasir.
“Bentar, ya, Bang.”
“Eh, mau kemana?”
“Ke kasir, bayar makan.”
“Udah aku bayar, Mel, tadi sekalian pas aku order. Nggak apa-apa, kan?”
“Loh, tuh kan, aku jadi nggak enak lagi. Aku ganti, ya?”
Melati memberikan selembar uang sratus ribuan, Revan menolaknya.
“Nggak usah, nggak apa-apa. Udah duduk lagi.”
“Tapi, Bang…”
Belum selesai Melati melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba di tengah obrolan mereka, seorang pemuda menghampiri Melati, bisa ditebak kalau ia adalah teman Melati.
“Eh, Pres Revan,” sapa pemuda itu melihat ada Revan juga di sini. Revan hanya balas senyum dan mengangguk. Melati terkejut melihat Ojan datang menghampiri, raut mukanya seperti sedang terburu-buru.
“Jan, ada apa?”
“Mel, ada meeting dadakan sama anak-anak jurusan, sepuluh menit lagi dimulai, bisa datang nggak?”
Melati terkejut kepada pemuda itu. “Kok dadakan banget, Jan?”
“Gue juga baru dibilangin, kebetulan ketemu lo di sini sekalian bilangan. Gue langsung duluan ke sana, ya!”
Seketika di pikiran Melati ingat tawaran pulang bersama dan berniat untuk membatalkan saja.
“Bang, kayaknya aku naik ojek aja, deh. Aku nggak tahu selesainya kapan, nggak mau ngerepotin juga.”
“Aku tungguin, sambil ngerjain skripsi. Nanti WhatsApp aja kalau udah selesai, ya. Dah, sana gih!”
“Hah?”
Melati tertegun heran, barusan katanya ia akan menunggu. Duh, Melati makin tidak enak hati. Revan masih menatap Melati yang belum bangkit dari posisinya, ia masih terkejut dan bingung plus tidak enak.
“Kok masih di situ? Pasti udah ditungguin anak-anak jurusan kamu,” kata Revan dengan pandangan yang sedang fokus ke laptop.
Akhirnya Melati bergegas merapikan laptopnya dan pamit kepada Revan.
“Rapat dulu ya, Bang. Makasih banyak, maaf kalau aku suka ngerepotin.”
Revan tersenyum dan mengangguk kecil, Melati pun pergi. Pemuda itu menatapnya hingga punggung gadis itu menjauh dan tak terlihat. Pandangan yang sama seperti saat di fotokopi waktu itu. Senyum Revan terlukis lagi.
***
Bagian 5: Rumah atau Tempat Les?
Hari demi hari hingga beberapa minggu terlewati, aktivitas Revan menghubungi Melati masih dilakukan. Walau tidak sering sebab Melati juga tahu bahwa Revan sedang sibuk berurusan dengan skripsinya, apalagi urusan menghubungi Melati, memangnya siapa dia, tidak penting juga. Beberapa kali menanyakan kegiatan, kemudian Revan mengirimkan pap. Biasanya kalau ada balasan yang cukup panjang, Revan akan mengirimkan voice note untuk menjelaskan hal tersebut. Melati jadi menabak-nebak untuk mengartikan hal-hal yang terjadi kemarin.
Saat ini sehabis memastikan tidak ada kegiatan lagi di kampus, Melati memutuskan mengunjungi kedai kopi yang lokasinya tidak lumayan jauh dari area kampusnya, kira-kira lima belas menit jarak yang ditempuh menggunakan motor. Hari ini motor miliknya tidak dipakai oleh kakanya, maka Melati bisa kembali menggunakannya, selain itu alasan lainnya adalah untuk menghindari tawaran pulang bersama Revan lagi. Sebab hal itu bisa membahayakan kondisi hatinya. Tak hanya itu, sengaja Melati mengunjungi kedai ini, selain tujuannya ingin me-refresh otak sekaligus self-reward karena sudah menyelesaikan dua tugas yang menurutnya berat dan masih tersisa satu yang menurut Melati tidak terlalu membebankan, selain itu juga menghindari anak-anak kampus yang sering terlihat di kedai kopi apalagi mengingat kejadian beberapa minggu lalu di warung Bu Ijah Bersama Revan. Melati tidak siap jadi sorotan.
Saat ini Melati sedang duduk sendirian di kursi kedai, wajahnya sedang melamun, tanpa laptop di hadapan, hanya segelas kopi rasa cappuccino kesukaannya yang mulai habis dan toast yang belum dicicipi sekalipun. Raut wajahnya terlihat cemas, beberapa kali ia menggigit kukunya, pandangannya fokus ke arah luar yang mana terdapat halaman hijau dipenuhi para pengunjung. Seperti ada yang ia pikirkan. Suasana kedai yang ramai tetapi dengan suasana yang tenang membuat aktivitas melamunnya semakin syahdu, ditambah lagu ballad yang melantun membuat suasana semakin khidmat.
Pikirannya bingung, dirinya takut tetapi hatinya penasaran. Melati bingung mengenai perlakuan Revan terhadapnya sebulan kemarin. Melati tak bisa langsung menebak tujuannya apa, Melati takut kepedean. Namun, tak munafik ada beberapa perlakukan Revan yang membuat Melati jadi terbawa perasaan, saat Melati menyadari itu, ia langsung menepis pemikiran dan perasaannya jauh-jauh. Ia tidak ingin jatuh lagi. Melati sangat bingung untuk mengartikan perilaku Revan. Ini yang menjadi permasalahannya, Melati tidak mempunyai akses untuk bertanya banyak soal Revan kepada senior yang seangkatan dengannya atau teman yang juga kenal Revan dekat.
Jika memang perlakuan Revan benar-benar terhadap Melati dan bisa mempertanggungjawabkan hal itu, Melati akan jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Namun, harapannya kepada Revan tinggi. Gadis itu tidak mau jatuh dan sakit lagi, dan semoga Revan bisa menjadi penyembuh dari hal-hal traumatis sebelumnya dalam kisah percintaan Melati.
Namun, jika memang kehadiran Revan serta perlakuan-perlakuannya hanya bercandaan semata dan membuat gadis itu lebih terluka dengan sangat amat dalam sehingga trauma yang ia rasakan akan terus menghantui dirinya, Melati akan patah hati sepatah-patahnya. Sebab, gadis itu sedang bersusah payah menyembuhkan luka dalam hatinya. Maka, Melati sudah bisa bayangkan seremuk apa hatinya, sama seperti sebelum-sebelumnya.
Jika membayangkan kisah-kisahnya di masa lalu, terkadang ada rasa nyeri di hati Melati, sesak napas yang menyerang tiba-tiba hingga air mata yang tiba-tiba menetes, saking takutnya hal yang sama akan terulang kembali. Sehancur itu Melati sehingga takut akan kenal dengan laki-laki. Melati belum siap untuk patah lagi, sebisa mungkin ia menghindari Revan. Namun, lagi-lagi Melati tak munafik, ia senang dan tak menyangka atas hal yang terjadi tetapi Melati takut juga. Ah, Melati harus apa.
Teman-temannya belum mengetahui soal Revan dan belum mau menceritakannya juga, karena seperti yang sudah-sudah, ketika ia mulai menceritakan tentang kedekatannya dengan seseorang, setelahnya tidak ada kelanjutannya lagi. Hal tersebut membuat Melati malu dan sakit. Jadi, cerita kali ini sebisa mungkin akan ia rasakan sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika ia sudah tak tahan memendamnya, Melati akan cerita.
Ingin sekali menanyakan perihal apapun tentang Revan kepada seniornya ataupun temannya yang juga dekat dengan Revan, agar setidaknya Melati mempunyai akses untuk bertanya dan mengetahui apa saja tentang Revan. Tentang apakah Revan memang seperti ini kepada teman perempuannya, apakah Revan seorang yang ramah dan terbuka, apakah Revan sosok yang pandai dalam memberi arahan, atau apakah Revan seseorang yang memang baik saja atau Melati yang memang spesial. Bagimana jika iya? Bagaimana jika tidak? Melati butuh informasi itu dari seseorang. Kepalanya tiba-tiba mengingat seseorang. Seorang senior yang juga satu angkatan dengan Revan tetapi berbeda jurusan. Melati tidak tahu mereka dekat atau tidak, akrab atau tidak. Namun, Melati tidak punya cara lain. Ia langsung mencari kontaknya dan mengirimkan sesuatu di sana.
Melati: Mas Andi, lagi sibuk nggak? Mau nanya hehehehehe.
Setelah melamun terlalu lama, gadis itu mulai menyadari toast-nya yang daritadi belum dicicipi, langsung berusaha mengahabiskannya hingga setengah. Sambil menunggu balasan, ia mulai menarik napas dan menghabiskan kopi yang sudah sangat sedikit lagi habis. Tanpa sadar ia juga menghabiskan energinya hanya untuk memikirkan hal-hal yang membuatnya cemas dan bingung. Melati overthinking lagi. Kali ini objeknya adalah si penasehat overthinking kemarin.
Pemuda yang baru saja membayar di kasir, tak sengaja pandangannya melihat gadis dengan wajah yang mungil dengan rambut sebahu khas tidak dikuncir sedang duduk sendirian sambil memakan toast dan melamun ke arah luar kedai. Senyum pemuda itu terlukis dan langsung menghampirinya. Gadis itu masih belum menyadari bahwa ia sudah berada di dekatnya, pemuda itu menepuknya.
“Mel?”
Melati menoleh. Seperti tersambar petir, jantungnya kaget bukan main, tubuhnya mendadak beku, mulutnya gagap, pikirannya buntu.
“Eh, sorry, aku ganggu, ya?” Revan bingung melihat reaksi Melati begitu melihatnya. Ya bagaimana tidak terkejut, baru saja pikiran Melati ramai dipenuhi kebingungan perihalnya, kini malah muncul di depan mata. Melati langsung memasang senyum paling ramahnya.
“Kaget. Kok bisa ada di sini, sih?”
Revan tertawa seraya mengambil posisi duduknya.
“Aku sering ke sini. Barista kedai di sini temanku.”
Melati mengangguk paham seraya membentuk huruf O pada mulutnya.
“Kamu sering ke sini juga?”
“Baru dua kali, sih. Sambil self-reward aja, hahaha.”
Melati dan Revan tertawa serempak.
“Oh, udah merdeka dari tugas, ya.”
Melati tertawa kecil, mengisyaratkan iya tanpa ia mengucapnya.
“Lagi ngelamunin apa? Serius banget keliatannya.”
Melati tersenyum terpaksa sambil menggeleng. Tak mungkin ia membocokan soal lamunannya itu yang mana objeknya sendiri adalah pemuda yang bertanya itu. Pandangan Melati jadi beralih menatap kopi yang sudah habis, ia merunduk. Syukurnya, di kedai ini tidak ada spotlight dan sorotan mata yang menuju ke arah mereka sehingga Melati merasa tidak sewas-was kemarin.
“Lagi mikirin sesuatu,” ucap Melati pelan dengan wajah tanpa ekspresi, matanya menatap sekitar. Revan yang menyadari Melati seperti menahan sesuatu, langsung menawarkan jasanya.
“Kalau ada masalah apa-apa, hal-hal yang sekiranya butuh tempat buat numpahin cerita, Melati bisa cerita ke aku,” kata Revan dengan ucapan yang pelan namun jelas.
Melati lantas mentapnya. Hatinya berdesir. Namun, tak mungkin juga menceritakan apa yang ia bingungkan sekarang secara gamblang ke orangnya langsung. Reaksi Revan hanya senyum dan mengangguk.
“Iya, benar. Kamu nggak salah dengar.”
Melati membuang pemandangannya ke arah pintu kedai, banyak orang-orang yang datang dan pergi di sana. Ada pertanyaan di kepalanya yang tiba-tiba muncul.
“Kenapa orang-orang datang dan pergi di sini? Padahal kedai ini tempatnya nyaman, Instagramable, bersih, makanan dan minumannya enak, adem juga. Kenapa nggak menetap aja?”
“Kerena mereka ingin memenuhi keinginannya, maka ia datang. Tapi, pada saat keinginannya terpenuhi, mereka akan pergi. Kenapa? Karena pada saat kita datang ke suatu tempat, maka ada keinginan di dalamnya. Seperti di kedai kopi, mau nyicipin menu baru atau mau foto aja karena spotnya Intsgramable banget. Atau ada juga yang sekadar datang dan minum kopi sambil main hape. Karena nggak semua tempat bisa memenuhi kenginan dan kebutuhan mereka,” jawab Revan seraya tersenyum.
“Makan dan minum? Tentu jelas di sini tersedia.”
“Tapi kebutuhan yang lainnya seperti mandi, tidur, masak? Nggak, kan? Kebanyakan orang yang datang dan berkunjung ke kedai tujuannya adalah untuk mencari hiburan dari penatnya bekerja misalnya, atau ada yang kayak kamu, mau self-reward. Bisa dilihat dari sini,” Revan mengarahkan jarinya menunjukan kumpulan pemuda pemudi yang sedang minum kopi sambil berbincang dan tertawa. “Ada beberapa yang datang ke sini buat senang-senang, ketawa bersama, asik-asikan. Ada beberapa juga yang lagi me-time dan yang di sebelah sana, lagi berbagai cerita ke orang yang disayang.”
Melati menyanggah saat pandangannya melihat seorang pengunjung yang sedang fokus kea rah laptopnya di sana. “Tapi, yang itu nggak. Dia malah sibuk sama laptopnya dan nggak menikmati suasana kedai.”
“Itu balik lagi ke tujuan mereka masing-masing datang ke sini untuk apa. Kita nggak bisa nebak dan maksa tinggal mereka untuk jangka yang lebih lama. Mereka punya kegiatan lain. Toh ini kedai, bukan rumah yang bisa memenuhi segala yang dibutuhkan kita.” Revan menjeda ucapannya, Melati masih diam, pemuda itu masih kelihatan ingin melanjutkan ucapannya.
“Semua tempat punya fungsinya masing-masing. Kedai kopi untuk minum kopi dan bersantai, me-refresh otak, sarana hiburan. Lapangan futsal tentu hanya dijadikan sebagai wadah untuk bermain futsal. Dan rumah tentunya sebagai tempat untuk pulang. Di sana ada seseorang yang selalu menunggu kita pulang, kalau saat ini ya orang tua. Mengasihi kita, mencukupi kebutuhan jasmani maupun rohani, diajarkannya baca tulis, diajarkannya ibadah. Di sana terdapat kasih sayang serta perhatian yang terbatas. Aku tahu kamu pasti paham betul fungsi rumah.”
Itu yang Melati maksud. Rumah. Apakah semua perlakukan, tawaran, ajakan dan lain-lainnya oleh pemuda yang berada di depan terhadapnya mengindikasikan sebuah rumah?
“Contoh lain, tempat les dan sekolah fungsinya adalah sama-sama untuk belajar, ada seorang guru di sana yang menjelaskan hal-hal yang kita nggak paham menjadi paham. Tugas seorang guru apa, sih? Menjadi seorang membimbing, mendidik, mengajar, mengarahkan melatih untuk siswanya, memberikan bantuan dalam memecahkan masalah dan lain-lainnya. Nah, terus apa yang membedakan?” tanya Revan kepada Melati.
“Tempat yang menjadi proses dalam belajar dan mengajar?”
Revan tersenyum membenarkan, “Seratus. Namun, selain itu juga tingkat intimasi yang berbeda antara sekolah dan tempat les. Kalau di sekolah belajarnya bisa bareng-bareng sama yang lain, tapi kalau di tempat tempat les tentu lebih intimate, bisa just two of us. Nah, makanya banyak orang tua yang mengleskan anaknya karena dianggap lebih efektif dan suasana yang lebih intimate juga memudahkan anak bisa menerima apa yang disampaikan gurunya. Ya, walaupun memang peran sekolah lebih utama di samping les itu optional.”
Melati jadi diam, belum merespon ucapan Revan. Melati yang tadinya fokus mendengarkan seraya menatap Revan berbicara, kini pandangannya beralih ke arah luar kedai lagi. Ujaran Revan membuat Melati tersadar dan mempertanyakan.
Tempat les? Atau, memang apa yang dijelaskan oleh pemuda ini terhadap dirinya, kemudian menyamakan dengan yang terjadi antara mereka belakang ini, sebenarnya mengindikasikan tidak lebih sabagai tempat les saja?
Melati masih bergeming.
“Eh, ngebosenin, ya? Topiknya yang udah semua orang tahu. Hahaha,” kata Revan mulai menyadari tidak ada timbal balik dari obrolan ini. Melati yang mendengar itu, jadi tersenyum sebagai tanda menyahuti.
“Tapi, pengibaratan dibalik hal tersebut yang bikin menarik, menurutku,” kata Melati dengan volume suara yang kecil, sehingga Revan yang mendengarnya tidak terlalu jelas tetapi masih bisa ia dengar secara samar.
“People come and go, but life goes on.”
Pemuda itu tersenyum, Melati mengigit tipis bibirnya dan ikut tersenyum.
***
Bagian 6: Danau
Sebulan berlalu, Melati masih dengan kegiatannya sebagai mahasiswa. Kuliah, rapat, main, nugas dan nangis. Pertemuannya dengan Revan hari itu adalah yang terakhir, ia belum bertemu lagi hingga kini. Walaupun aktivitas berkirim pesan dan beberapa kali menelfon masih sering mereka lakukan. Tentu, aktivtas berkirim pesan mereka tidak seperti anak SMA yang setiap waktu harus membalas, Melati akan membalas beberapa jam kemudian ketika ia sedang sibuk dengan kegiatan lain, begitupun Revan. Namun, hal tersebut bukan berarti mematikan obrolan di antara mereka, justru malah memperpanjang durasi dan pembahasan.
Sebulan Revan tak menampakan dirinya di hadapan Melati, ada perasaan syukur sekaligus longing pada hati Melati. Menurutnya intensitas bertemu yang tak sesering kemarin dapat membuatnya sedikit lebih lega sebab ia tak penemukan perlakuan Revan yang menjadi pembiasaan hingga membahayakan hatinya itu. Di sisi lain, ketika dirinya sedang menyendiri atau sendirian di tempat makan atau di manapun, yang biasanya ia merasa aman dan tenang saat sendiri, kali ini rasanya berbeda, seperti ada yang ia cari.
Belakangan ini Melati sedang disibukan oleh beberapa tugas penelitian menganai mata kuliah di jurusannya, melakukan penelitian yang bertempat lumayan jauh dari rumah bersama beberapa orang teman kelasnya. Pindah ke satu tempat dan ke tempat lain. Berganti peran lagi dalam suatu diskusi oleh forum kampus dan lain-lainnya. Beberapa kali Melati menarik napas, di depannya terdapat laptop. Ia sedang duduk di taman kampus yang mana banyak terdapat pohon rindang bersama beberapa orang temannya. Tinggal selangkah lagi ia bisa terbebas dari tugas-tugas yang memberatkan jam tidurnya ini. Ia sedang mencocokan data teman sekelompoknya. Saat datang yang dicocokan berhasil, akan memasuki tahap cross-check terlebih dahulu baru kemudian ia submit, dan tugas selesai.
Dua puluh menit berlalu, mereka mamasuki tahap untuk meng-cross-check tugas. Raut wajah Melati saking seriusnya sudah tak terkontrol bagimana bentuk wajahnya. Kalau sedang serius seperti itu, Melati orang yang tidak bisa diganggu gugat, prinsipnya adalah harus selesai terlebih dahulu baru bersantai-santai kemudian. Walaupun ia masih ingat ucapan-ucapan Revan soal time management dan goal, tapi kalau tugas kelompok tentunya berbeda. Kontrol bukan milik Melati, tetapi semua anggota.
“SELESAAAI! TINGGAL SUBMIT!” teriak seorang teman Melati yang terkenal dengan hebohnya.
“Sabar, sabar. Our last step is submitting,” kata Melati mengingatkan.
Setelahnya submit tugas hanya diserahkan kepada satu orang sebagai perwakilan. Akhirnya submit telah dilakukan oleh Melati dan semua temannya bersorak heboh saking senangnya. Untungnya situasi taman kampus sekarang tidak terlalu ramai, apalagi di jam siang hari seperti ini banyak mahasiswa yang sedang berada di dalam kelas karena ada jam mata kuliah. Selanjutnya mereka ngobrol-ngobrol banyak hal tentang apa saja hingga memakan waktu setengah jam, Melati merasa dirinya hidup di sana, bercerita tentang banyak hal dan yang paling banyak bercerita adalah dirinya, seperti seorang motivator.
“Damn! She is as cool as my new casing.” Seorang teman laki-lakinya berbisik kepada teman laki-lakinya yang lain, hanya ada dua laki-laki diantara tiga perempuan, termasuk Melati.
“Your casing is cheap, but Melati is expensive,” sahut teman perempuan yang lain.
“Mel, sebagai teman sekelas, kenapa gue baru sadar lo keren banget. Your speech, Mel,” kata seorang perempuan yang duduknya paling dekat dengan Melati.
“Guys, please pay atenattion! Give applause for our lovely friend Melati Azuramahdi.”
“Hah? Nggak, ya Tuhan. Padahal gue cuma cerita pengalaman gue doang,” balas Melati berusaha meyakinkan.
Karena memang yang Melati rasakan seperti itu, tetapi banyak orang yang melihat Melati ketika berbicara seperti ada sebuah magnet yang membuat perkataannya menarik, intonasinya dalam menyampaikan sesuatu tegas dan jelas, mungkin itulah sebabnya Melati banyak mengisi acara dan kegiatan seminar serta diskusi. Namun, Melati merasa ia hanya berbicara biasa dan menceritakan cerita.
Di tengah-tengah pembicaraan mereka, pandangan seorang pemuda menangkap momen itu. Ia terkejut dan ada senyum tipis di bibirnya. Pasalnya, seoerang Melati yang ia ketahui saat bersamanya bukanlah tipe gadis yang banyak berbicara seperti yang barusan ia saksikan. Saat bersama gadis itu, Revan selalu menganggap Melati seorang gadis yang polos dan banyak bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang ia berikan. Saat melihat khotbah Melati barusan, ia berpikir, mengapa Melati tak menampilkan sisi itu di hadapannya. Revan salut dengan Melati. Selanjutnya pemuda itu melangkahkan kakin menuju pintu gerbang kampus.
Tidak terasa satu jam sudah berlalu. Setelah menyelasaikan penelitian yang memakan waktu satu bulan, kini Melati sudah bisa bernapas lega. Teman-temannya yang lain sudah pamit untuk pulang dan ada beberapa yang masih stay di kampus. Melati melihat jam tangan, masih pukul dua sore. Kalau ia minta jemput jam segini, takutnya akan ada kegiatan dadakan seperti beberapa waktu lalu, tetapi kalau tidak ada juga untuk apa berlama-lama di sini. Tiba-tiba ide di kepalanya datang. Ia mengingat ada hidden gem dekat dengan kampusnya yaitu ada danau yang dikelilingi rumput hijau. Melati sempat melihat beberapa orang temannya yang berfoto di sana, tetapi tujuan Melati ke sana hanya ingin bersantai sambil menikmati suasana.
Akhirnya Melati berangkat menuju danau tersebut dengan menggunakan jasa ojek online. Sesampainya di sana, suasana danau sedang tidak ramai, hanya ada beberapa orang di spot tertentu. Mungkin karena jam yang masih siang serta hari yang bukan hari libur. Melati duduk di bawah pohon dekat danau, pemandangan di depannya persis air danau. Melati menarik napas seraya tersenyum, melepaskan semua penat dan beban, walaupun ia tahu tugasnya masih akan terus ada. Gadis itu mengeluarkan hapenya dan memotret beberapa spot pemandangan yang menurutnya indah. Saat Melati mengarahkan kameranya ke arah kanan yang terdapat pohon, seseorang tertangkap di kamera Melati. Gadis itu mengernyit serta memperbesar ukuran foto tersebut. Seperti tidak asing. Saat Melati melihat langsung ke objek foto tersebut yang tidak terlalu jauh dari tempat Melati berada, di sana ada Revan yang sedang duduk dengan laptop di pangkuannya.
“Bang Revan?” gumam Melati.
Ia diam sebentar sebelum pada akhirnya langkah Melati berjalan menuju Revan berada, Melati pergi ke tempat penjual minuman terlebih dahulu dan membeli dua botol minum baru ia berjalan menuju Revan. Saat Melati berjalan menuju Revan berada, pemuda itu belum menyadari ada keberadaan gadis itu berada. Melati langsung mengulurkan botol minuman satunya ke arah Revan. Revan langsung menoleh ke arah seseorang yang memberikan itu dan senyumnya langsung terlukis.
“Makasih, ya, Mel. Ngagetin aja,” kata Revan sambil menerima uluran botol minum tersebut.
Melati langsung mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Sering nugas di sini, ya, Bang?”
Revan mulai meminum minumannya.
“Lumayan. Kamu juga?”
Melati menggeleng. “Baru kali ini.” Tiba-tiba rasa tidak enak muncul di hati Melati mengingat Revan sedang memangku laptop.
“Eh, aku ganggu nggak sih, Bang? Pasti lagi ngerjain skripsi.”
“Nggak, aman. Masih ada waktu kok.” Revan mulai menutup laptopnya dan kembali meminum botol minumannya sambil menatap pemandangan danau di depannya.
“Udah lama, ya, nggak ketemu,” gumam Revan tiba-tiba, pandangannya masih lurus. Melati mendengar itu, tapi ia tak menjawabnya.
“Apa kabar, Mel? Gimana hari ini?” tanya Revan kepada Melati.
Kadang saat-saat seperti inilah hal yang paling Melati benci sekaligus senang. Kadang perlakuan Revan serta hal-hal kecil lainnya bisa membahayakan hati Melati dan jatuh lagi. Dahulu, tak pernah ada sedikitpun pemikirannya akan seperti ini, duduk di samping Revan. Bahkan kepikiran untuk saling berkirim pesan saja tidak pernah. Melati memang kagum pada prestasi dan karakter seorang Revan Affandi yang menjabat sebagai ketua BEM yang biasa disapa Pres itu, tetapi kekaguman itu hanya terbisik di hatinya saja dan tidak perlu untuk diungkapkan, dan Melati memilih untuk memendamnya sebab itu bukan suatu yang mungkin.
“Baik banget. Puji syukur. Aku ngelewatin banyak hal selama sebulan kemarin dan baru selesai tadi ngerjain di taman kampus hari ini. Rasanya aku bisa napas lega, makanya aku datang ke danau ini,” jawab Melati dengan intonasi ceria serta semangat menceritakan tugasnya yang baru saja kelar. Revan tersenyum, ingatannya tentang Melati saat berbicara di depan teman-temannya membuat ia kagum.
“Kalo Bang Revan sendiri, gimana?” tanya Melati kepada Revan.
“Pusing sedikit, seperti biasa. Tapi nggak apa-apa.”
“Semangat! Semoga cepat selesai, Bang.”
“Makasih, Mel.”
Selanjutnya, tak ada percakapan di antara mereka, sama-sama saling menatap ke arah depan mereka yang terdapat danau. Melati masih menikmati keindahan danau di depannya tanpa ada rasa canggung kepada Revan.
“Dikit lagi aku sidang, Mel,” ucap Revan membuat Melati menoleh. Ada rasa senang dan sedih di hatinya. Senang pemuda itu akan segera menyelesaikan pendidikannya, sedih karena pasti tidak aka nada lagi momen-momen tak terduga yang Melati tidak pernah menyangkanya.
“Oh, ya? Kapan?”
“Beberapa minggu lagi,” Revan menjeda ucapannya. “Doain ya, semoga lancar. Biar cepet lulus.”
Ada desiran di hati Melati. Kenapa gadis itu seperti tak merelakan, kenapa harus secepat ini perkenalan mereka. Rasanya Melati ingin memberhentikan waktu saat ini juga.
“Aamiin, pasti didoain kok, Bang.”
Keduanya saling diam lagi, pandangan mereka kembali menatap ke depan. Melati merasa aneh, beberapa pertemuan mereka yang lalu, Revan selalu banyak berbicara, menjelaskan tentang apa saja. Namun, kali ini ia agak banyak diam.
“Kok diam?” Revan tiba-tiba memecah hening sambil tertawa. “Kayak mau melepas kepergian, ya? Jadi suasannya haru.”
Melati ikutan tertawa. Memang benar kata Revan. Mau tidak mau, semua orang akan pergi meninggalkan kita.
“Biasanya juga dia yang banyak ngomong,” balas Melati membuat pemuda itu mengerling.
“Coba gantian, aku yang mau liat kamu ngomong.”
“Loh, ini aku lagi ngomong.”
“Ngomong yang kayak lagi di taman kampus tadi.”
Melati terbelalak. Ia terkejut dan histeris.
“Bang Revan liat?!!”
Revan tertawa puas.
“Kenapa kalau lagi sama aku, kamu nggak nunjukin sisi itu? Kamu yang suka berbicara banyak hal yang bisa memotivasi.”
Karena Melati insecure.
Terjadi perubahan di wajah Melati. Raut wajahnya sedikit ditekuk dan ada hal tersirat di sana. Memang benar, Melati merasakan hal itu. Saat bersama teman-temannya, Melati bisa berbicara banyak hal yang memotivasi. Saat mengisi sebuah acara diskusi, tanpa ragu Melati langsung mengeluarkan pendapatnya. Namun, entah, saat bersama Revan, Melati merasa bukan dirinya. Ia seperti menahan-nahan ucapan apapun yang keluar dari mulutnya, sebab Melati tahu yang di hadapannya kini adalah seseorang yang memiliki prestasi yang gemilang serta dikenal banyak orang. Dirinya merasa takut saat membicarakan hal-hal yang Melati tidak ketahui dan salah menjawab, Revan akan menjauhi dan menilainya bodoh. Karena Melati takut Revan mau berteman dengan orang-orang yang cerdas.
Gadis itu hanya menggeleng seraya tersenyum kaku sebagai jawaban.
“Kenapa? Cerita aja kali.”
“Insecure,” Melati menjawab sambil menunduk. “Bang Revan lebih tahu banyak hal daripada aku.”
Revan menarik napas. “Bukan berarti aku harus jauhin kamu, kan? Aku penasaran, apa yang ada di pikiran kamu tentang aku, coba aku pingin tau.”
Melati diam sebentar, mungkin ini saatnya ia harus berbicara yang sesungguhnya.
“Kalau perempuan lain lebih insecure soal fisik dan penampilan, aku lebih insecure sama orang yang punya wawasan luas. Aku takut keberadaanku nggak diterima, maka biasanya aku yang sadar diri untuk memberi batasan. Pemikiranku, orang-orang yang seperti itu cuma mau berteman dengan orang-orang yang sebanding juga soal wawasan, yang cerdas. Apalagi soal pasangan, pasti nggak main-main. Jangankan itu, untuk taraf berteman aja aku merasa nggak masuk ke tahap itu. Aku takut memperparah kenyataan, maka dari itu alasanku selama ini nggak pernah bicara banyak hal yang kuketahui di depan Bang Revan, aku takut ucapanku ada yang salah, sok tahu, dan hal tersebut membuat Bang Revan ngetawain dan menilaiku bodoh. Sebab ternyata Bang Revan tahu lebih banyak hal daripada aku.” Melati menarik napas, ia mencari kata-kata selanjutnya yang ingin dikeluarkan.
“Aku merasa rendah diri dan kecil, apalagi pengalaman yang nggak mengenakan yang kurasakan, saat aku sedang dalam posisi rendah diri kayak gini, orang tersebut benar-benar gone seolah-olah memvalidasi keberadaanku. That’s the fucking situation. I feel like I’m worthless and valueless.”
Revan mengangguk pelan, tatapannya fokus ke wajah Melati.
“Mel, kamu ngomong kayak gini aja udah keren. Aku ngerti soal insecurities-mu, yang mana memang gara-gara itu kamu selalu ngerasa minder dan kecil. Overthinking-mu, Mel. Harus disuruh pergi. I’m ok with all of people around me; dumbass, weirdo, cleaver. Who says you’re worthless and valueless? You’re amazing with all you have done, Mel. Balik lagi ke peran, kita udah pernah bahas, kan? Aku bisa menempatkan diriku saat bersama siapa aku sedang berbicara. Nih, di sini nih, di kepalamu …” Revan menyentuh lembut kepala Melati dengan jarinya. “banyak monsternya yang suka mikir nggak-nggak.”
Melati masih diam, entah kenapa ucapannya kali ini tanpa diiringi rasa khawatir dan yang Melati rasakan kini seperti ada hal yang memberatkan perlahan mulai lepas. Revan masih tersenyum ke arah Melati, sementara dirinya masih enggan untuk tersenyum. Revan mengerti rasa tidak aman yang dialami Melati. Apalagi saat menafsirkan ucapannya tadi, bahwa ia pernah mengalami hal seperti itu. Revan pun punya berinisiatif.
“Mau ikut aku nggak nyari buku?”
Melati menoleh ke arahnya. “Sekarang?”
Revan mengangguk seraya tersenyum.
“Melawan overthinking-mu itu, biar nggak berkembang biak.”
Akhirnya mereka pun pergi menuju Gramedia terdekat menggunakan motor Revan. Menulusuri teriknya jalan raya, Melati tak pernah menyangka aka nada di posisi ini. Jauh dari bayangannya. Hari itu hingga malam menjelang, mereka menghabiskan waktu hanya berdua. Mengunjungi toko buku dan membeli beberapa buku dari yang dibutuhkan sampai yang menarik. Mampir ke Timezone untuk bersenang-senang. Bermain boom-boom car, dance-dance revolution dan lain-lainnya yang menurut mereka seru. Sambil bermain, tawa Melati dan Revan tak berhenti. Selepas bermain di Timezone, keduanya memutuskan pergi ke M Blok Space. Mengunjungi spot-spot yang Instagramable dan berswa foto di sana, mencicipi street food yang lokasinya tidak jauh dari mereka berada, hingga menghabiskan sisa waktu mereka dengan mengobrol banyak hal.
Bulan dan bintang sudah menampakan cahaya, itu tandanya Melati harus pulang ke rumah. Tak terbesit dan terbayangkan sebelumnya bisa melakukan banyak hal bersama Revan, bercerita panjang lebar, dari Melati yang belum bisa menunjukan diri yang sesungguhnya, hari ini ia bisa menjadi dirinya kembali. Melati yang apa adanya saat bersama teman-teman, hari ini ia melakukan itu di hadapan Revan, sumber insecure terbesarnya. Hal ini membuat Melati semakin yakin bahwa Revan memang ‘benar-benar’ yang ia maksud. Walau tanpa ada validasi dari ucapannya, Melati meyakinkan itu. Dengan judul hari ini setengah hari bersama Revan, sejarah dalam hidup Melati.
***
Baca cerita selanjutnya:
Cerpen 1#: Suatu Ketika Tanpa Sengaja dan Menuai Cerita
https://ikaikan.blogspot.com/2021/08/cerpen-1-suatu-ketika-tanpa-sengaja.html
Cerpen 2#: Intensitas Temu dan Harap yang Menggebu
https://ikaikan.blogspot.com/2021/08/cerpen-2-intensitas-temu-dan-harap-yang_24.html
Cerpen 3#: Bukan Tempat Berpulang
https://ikaikan.blogspot.com/2021/08/cerpen-3-bukan-tempat-berpulang_24.html
Comments
Post a Comment