Skip to main content

Cerpen #3: Bukan Tempat Berpulang

  

Bagian 7: Wisuda

Dua minggu berlalu, setelah kejadian terakhir yang Melati tak pernah menduganya bisa menghabiskan waktu bersama Revan. Kini pemuda itu sudah jarang mengirimkan pesan kepada Melati, tidak seperti biasanya. Bukannya Melati berharap akan dikirimi pesan selalu, tapi belakangan ini Revan hanya mengirim sekali hingga dua kali dalam dua hari, selanjutnya tidak lagi. Biasanya saat Melati sedang sibuk sekalipun, akan terdapat sebuah pesan di hapenya walaupun baru ia baca tiga sampai enam jam kemudian. Melati mengerti, memang dua minggu ini Revan sedang disibukan untuk persiapan sidang skripsinya. Melati ingat itu, saat pemuda berambut gondrong itu mengatakan akan sidang skripsi dua minggu lagi. Mungkin itu yang menyababkan Revan jadi jarang menghubungi Melati, ia sedang sibuk dan ingin fokus pada sidang skripsinya.

Hari ini kegiatan Melati di kampus hanya kuliah biasa, tidak ada rapat, tidak ada yang menegangkan juga tidak ada yang menyenangkan. Harinya terasa monoton, apalagi sejak intensitas mengirim pesan dengan Revan mulai berkurang, ia tak lagi mengecek hapenya sebab tak ada pesan yang harus dibalas di sana. Akhirnya, Melati memutuskan untuk ikut makan siang bersama dua orang teman dekatnya; Tiara dan Dinda.

“Tumben banget lo nggak pulang atau nggak ngebolang sendirian,” tegus Tiara kepada Melati yang sedang berkaca melalui layer hapenya. Mengingat gadis itu memang hobinya keluyuran sendirian kesana kemari, ia tak takut, tapi Melati senang melakukan itu.

“Lapar, Tir. Lo kira gue apaan nggak bisa lapar,” balas Melati menyudahi aktivitas bercerminnya. Tiba-tiba makanan mereka datang, Dinda menyambutnya dengan penuh semangat. Namun, getaran di hape Melati membuat pandangan gadis itu beralih. Dilihatnya ada sebuah pesan masuk.

Bang Revan: Mel, aku lulus sidang.

Tanpa sadar, bibir gadis itu melukis senyum paling cerah. Ia segera mengetikan sesuatu di hapenya.

Melati: Selamat, ya, Bang Revan!

Sent.

Hari ini rasanya seperti kanvas putih tanpa warna, tiba-tiba sang maestro lukis datang mengoreskan sebuah warna di atas kanvas tersebut. Itulah perasaan Melati hari ini. Ia sudah jatuh kepada pemuda itu, menurutnya hari itu, Revan seperti meyakinkan dari ucapan Melati sebelumnya. Gadis ini mulai menyantap makanannya dengan penuh selera.

Seminggu berlalu, Melati kira pesan yang dikirim kemarin adalah awal dari percakapan mereka lagi. Namun, Revan hanya sekadar mengabarkan saja, belum ada balasan lagi darinya. Melati terdiam. Akan kah kesimpulan dan langkah yang ia ambil salah? Melati sudah terlanjur jatuh dan basah. Rasa khawatirnya muncul kembali. Melati menyalahkan diri sendiri. Siklus Revan dengan aktivitasnya selalu seperti itu.

Hari ini kegiatan di kampus Melati sedikit padat, jurusannya berniat untuk mengadakan seminar dan Melati dibutuh sebagai MC. Namun, nampaknya mood gadis itu sedang kurang baik. Gadis itu sedang duduk sambil melamun di kursi yang mana sekelilingnya ada Tiara dan Dinda serta teman-teman organisasi yang sedang sibuk dan ramai menyusun kegiatan.

“Mel, mau jadi MC?” tanya Danu, teman sejurusannya itu yang juga ikut berkontribusi dalam acara.

“Nanti gue pikir-pikir lagi deh,” kata Melati dengan intonasi meninggi. Kepalanya seperti ramai. Ia pusing di tengah keramaian seperti ini, mendengarkan banyak suara orang yang berbicara. Melati butuh tempat sepi.c

“Segera, ya, Mel.” Danu, si pemuda pendiam itu langsung menjauhkan dirinya dari Melati.

“Lo lagi PMS, ya?” tanya Dinda sinis menatap Melati.

“Kok tumben banget, sih, Mel? Biasanya paling semangat,” sahut Tiara heran.

Hari ini perut Melati memang terasa sedikit lagi, mungkin sedang mendekati tanggal menstruasinya.

“Din, Tir, gue duluan, ya!” Gadis itu menyelinap pergi buru-buru, di pikirannya terbesit danau, maka ia segera menuju pergi danau.

Belakangan ini Melati merasa hari-harinya sedang buruk. Entah, apakah ini efek dari ia telah jatuh hati. Melati tak sepenuhnya berharap akan bertemu Revan di sana. Pikirnya, pasti Revan juga masih sedang sibuk untuk revisi skripsinya, wajar memang ia tak menghubungi Melati lagi. Kenapa dirinya jadi berharap gini. Melati menepis pikirannya jauh-jauh.

Di tepi danau tempatnya pertama kali datang, dirinya terus-terusan memandangi danau, beberapa kali melihat ke tempat Revan berada saat itu. Tak pernah terbesit akan bertemu pemuda itu di sini. Kalau kemarin Melati Bahagia bukan main karena pemuda itu, mengapa kini ia jadi sedih juga saat pemuda itu tak ada di sini. Melati mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.

Seperti yang ia khawatirkan di awal akan seperti ini, tapi semua masih abu-abu, Melati belum bisa menyimpulkan secara keseluruhan. Gadis itu sedang men-scroll Instagram, di sana terdapat story milik Revan terpampang, Melati mengkliknya. Ada pemuda itu sedang bersama dua orang teman laki-lakinya di sebuah café. Melati menarik napas, sampai saat ini pemuda itu belum ada balasan, hal ini membuat praduga soal Revan di awal memang benar. Melati menutup aplikasinya, dadanya terasa sesak sedikit.

Drrrttt... drrttt ...

Getaran di hape membuat Melati menoleh.

Bang Revan: Lagi kelas, Mel?

Melati terkejut dan senyumnya terukir.

***

Hari demi hari terus berganti, minggu ke minggu hingga bulan ke bulan. Lagi dan lagi, Melati kira pesan yang dikirim oleh Revan akan berlanjut dan lebih panjang dari sebelumnya atau kembali terhubung seperti semula. Ternyata tidak. Pola Revan masih sama hingga bulan ke bulan Revan hanya mengirimi Melati dua sampai tiga pesan saja. Beberapa kali gadis itu berdiam diri dan menangis, merasakan sesak di hatinya muncul dan tiba-tiba pesan atau sebuah pap yang dikirim Revan membuat gadis itu ceria seperti sedia kala. Selali saja begitu. Bahkan di hari ini, gadis itu tetap menjalankan harinya sebagaimana biasanya. Walaupun terkadang saat malam hari tiba, ia merasa sepi dan kembali kepada kebiasaannya dahulu yaitu menangis.

Gadis itu sempat berusaha sembuh, menghilangkan sesak yang tiba-tiba muncul ketika memori itu terputar, mengakhiri kebiasaan menangis di malam hari sebelum tidur dan menghindari pesan-pesan yang meromantisasi yang membuat jatuh dan patah lagi. Namun, ketika bertemu Revan, ia masih berusaha untuk sembuh dan tidak jatuh, walaupun kadang perasaannya menyangkal bahwa ia sedikit terbawa perasaan, hingga pada puncaknya beberapa bulan lalu mereka menghabiskan waktu bersama. Yang mana Melati mengindikasikan Revan memang benar-benar kepadanya, tidak seperti yang lain, apalagi pemikiran Revan yang jauh lebiih dewasa serta banyak hal yang Revan ketahui sehingga itu memudahkannya untuk memahami Melati. Maka Revan bisa menyembuhkan Melati, pikir Melati demikian. Tentu, gadis itu bukan Tuhan yang mampu menyempurnakan kenyataan, hanya di pikirannya saja, belum tentu di jalan Tuhan.

Hari ini adalah weekend, dan Melati tahu bahwa hari ini juga wisuda di kampusnya akan berlangsung sejak pagi tadi. Dan Melati tahu, hari ini Revan sedang diwisuda, sebagaimana doanya; semoga cepat lulus. Kegiatan Melati sejak pagi hanya berdiam diri di kamar sambil menonton tv, gadis itu juga belum mandi. Kemarin adalah hari yang memelahkan, maka ia harus membayar lelahnya kemarin dengan tidak melakukan apa-apa seharian. Seperti yang pernah dikatakan Revan. Perasaannya hati seperti sedang menyiapkan tenaga untuk menangis semalaman sebab tak ada tanda apapun dari Revan. Semakin meyakinkan Melati, bahwa benar, Melati adalah victim of ghosting.

Sebuah cahaya yang bersumber dari hapenya di tengah kamar Melati yang minim pencahayaan, membuatnya menoleh.

Bang Revan: *sent a photo*

                        *sent a photo*

Melati terpelonjak dan jarinya langsung mengklik dua foto yang dikirimkan Revan. Revan mengirim sebuah pap pemandangan di depannya yaitu aula kampusnya yang sedang dihadiri rector dan dosen dan foto kedua adalah foto selfie-nya sedang tersenyum dengan menggunakan baju wisuda dan toga. Melati tersenyum dan senang melihatnya. Pemuda itu berhasil melawati semua. Semua hal-hal yang membuatnya sibuk dan pusing sempat Melati saksian saat bersama dirinya, kini Revan berhasil dan selesai. Ia sangat bangga.

Melati: Selamat wisuda dan selamat atas gelarnya, Bang!

Tak lama kemudian.

Bang Revan: Nanti datang dong, Mel :D

Wajah Melati langsung berubah ekspresi, ia memasang senyum paling lebar dan bergegas merapikan seluruh kamarnya kemudian pergi mandi.

***

Ba’da dzuhur, Melati sudah rapi dengan penampilanya, menggunakan dress putih selutut bertema semi-formal, dengan berbalut brukat di seluruh bajunya. Melati memberikan sedikit riasan tipis di wajahnya dan mengikat rambunya menjadi cepol. Ia membiarkan beberapa anak rambutnya dibiarkan jatuh dan tertiup angin. Melati terlihat anggun dan cantik. Ia bersiap untuk berangkat menuju kampusnya, sebelum itu Melati akan mampir terlebih dahulu untuk membeli bucket bunga.

Saat gadis itu sampai di sekitaran aula kampus yang dipenuhi seluruh wisudawan dan wisudawati sedang berfoto dan merayakan kelulusan mereka bersama teman-temannya. Sambil membawa bucket bunga pandangan Melati melihat banyak teman-teman Revan yang masih berkumpul di sana, berfoto sambil membawa spanduk yang terpapang wajah dirinya, di sana juga terdapat dua buah papan ucapan untuk Revan. Pemuda itu tampak terlihat gagah dan tampan ketika menggunakan jas. Melati jadi memundurkan langkahnya dan duduk sebentar di kursi yang kebetulan berada di dekatnya. Ia melihat lagi, suasana sudah tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa teman orang laki-lainya saja. Gadis itu jalan perlahan menuju keberadaan Revan. Dari jauh Revan menyadari siapa yang datang mendekat, belum sampai di jarak dekat, Revan sudah melontarkan senyumannya.

Melati balas senyum dan memberikan bucket bunga tersebut kepada Revan.

“Selamat, ya, Bang!” ucap Melati dengan suara yang tak terlalu keras.

Revan menerimanya. “Makasih ya, Mel, udah mau datang.”

Melati mengangguk sambil tersenyum. Teman-teman Revan yang berada di sekitarnya menyaksikan itu, membuat dua di antara lima pemuda itu malah berbisik-bisik.

“Kamu sendiri, kah?”

“Ya kan emang selalu sendiri. Hahaha.”

Keduanya tertawa, Revan mengiyakan mengingat gadis itu setiap kali ditemui memang selalu sendirian. Tiba-tiba seorang fotografer menghampiri mereka. Tadi Melati lihat juga teman-temannya difotokan oleh orang ini. Sepertinya Revan menyawa seorang fotografer.

“Mau difoto?” tanya sang fotografer tersebut.

“Boleh,” jawab Revan.

Melati berdiri di sebalah Revan sembil tersenyum, jarak mereka yang dekat namun masih terlihat sedikit ada space. Huh, kenapa Melati jadi kaku seperti ini.

“Sekali lagi, siap-siap.” Instruksi sang fotografer membuat Melati jadi bergaya dengan memasang dua jarinya membentuk huruf V sambil tersenyum dan Revan yang ala-ala candid sambil tertawa.

“Oke. Mau pake hape?” tawar sang fotografer itu.

Melati sontak berinisiatif mengeluarkan hapenya, namun …

“Pakai hape ini aja, Bang.” Revan sudah memberikan terlebih dahulu.

Kedua bergaya lagi. Setelahnya, Melati baru menyadari di sekelilingnya, beberapa pasang mata diam-diam curi pandang ke arahnya. Persis sama seperti waktu mereka di warung Bu Ijah. Namun, Melati tak memusingkan. Baginya, jika memang yang terjadi dengannya dan Revan memang benar, ia akan bangga soal itu. Setelah selesai, Melati berucap untuk pamitan kepada Revan.

“Makasih ya, Mel, sekali lagi. Hati-hati di jalan.”

Melati tersenyum dan mengangguk kemudian mulai berjalan pelan meninggalkan Revan.

“Ciyaaaaaaa! Anak Ilmkom, uhuy,” cuitan yang berasal dari teman Revan seraya menghampirinya.

“Nggak, Fan,” elak Revan sambil tersenyum kecil.

“Nggak-nggak tapi dikasih bucket. Tumben banget Revan disamperin cewek,” sahut teman laki-laki Revan lainnya.

Revan tak bereaksi apapun, ia sendiri bingung dengan dirinya, apalagi hatinya.

 

***

Bagian 8 (Akhir): Hilang

Waktu terus berjalan, hidup tetap berjalan. Perasaan Melati yang terang dan redup terhadap Revan semenjak pemuda itu hilang kemudian muncul lagi lalu hilang lagi dan muncul lagi. Membuat Melati semakin memvalidasi dirinya worthless dengan menghilangnya pemuda itu, tetapi di satu sisi Melati orang yang paling bahagia sedunia saat pemuda itu datang lagi. Dua bulan semenjak kelulusan dan wisuda Revan, pemuda itu belum menghubunginya lagi. Rekor terlama Revan menghilang. Gadis itu semakin merasa kecil dan rendah diri, tentang hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Bahwasannya rasa tidak aman dan khawatir serta mempertanyaakan kepantasan dirinya terhadap Revan, apakah Melati memang pantas dengan seorang Revan yang super luar biasa dan segudang prestasi juga jabatannya dengan Melati yang bukan apa-apa. Rasa tidak aman dan tidak pantas itu membuat Melati semakin yakin bahwa Revan melakukan itu yak krena memang sewajarnya saja Melati pantas diperlakukan seperti itu, sebab Melati tidak bisa apa-apa, Melati bukan yang luar biasa pula, Melati biasa saja. Dan jika memang alasan Revan seperti itu, Melati akan menerimanya. Karena Melati memang tidak pantas dengan Revan.

Dua bulan kemarin Melati kembali pada aktivitas jauh sebelum bertemu Revan, menjadi sedikit pendiam, murung, menangis sendirian di malam hari, takut berkomunikasi intens dengan laki-laki, takut perasaannya terulang kembali. Melati tidak mau terulang lagi, sebisa mungkin ia menghindari itu. Namun, tetap saja Melati merasakan itu lagi. Kiranya pemuda itulah yang menjadikan istilah ‘benar-benar’ adalah nyata. Melati sudah tahu sejak dari awal bahwa akhirnya akan sama, tetapi harapnya selalu ada diiringi dengan aksi nyata pemuda itu. Membuat Melati semakin melebarkan harapnya. Ia tahu ia sudah jatuh dan patah. Hal-hal yang kemarin yang kiranya memang membuatnya yakin, kini dibuktikan dengan adanya realita. Ini yang paling Melati benci. Harus menerima hal-hal yang tak sesuai dengan harapannya, ekespektasinya, perihal hidup datang dan pergi.

Sudah sejak sepuluh menit yang lalu, Melati duduk sendirian dipinggir danau. Namun, Dinda dan Tiara sudah mengabari bahwa akan segera ke situ setelah membeli beberapa camilan dan minuman yang akan disantap bersama seperti piknik. Danau ini menjadi salah satu tempat kasukaan Melati. Selain rindang juga danau ini memberikannya rasa damai sebab suasana yang tidak terlalu ramai. Sudah sedaritadi juga gadis itu melamun, memorinya atas semua kejadian mengenai pemuda itu terputar kembali, seperti sebuah video yang diputar di kepala. Ada rasa takut di sana pada saat ini mengenal pemuda itu, ada rasa terkejut sebab Melati bisa di-notice Revan, ada rasa senang sebab Melati memang mengaggumi pemuda itu. Semua rasa menjadi satu, dan semua hal yang membauatnya takut dan ragu terbayarkan dengan setengah hari yang dihabiskan oleh mereka berdua. Yang membuat Melati menyimpulkan bahwa memang ia benar-benar, walau kini Melati ditampar kenyataan bahwa simpulannya adalah salah.

Rasa sesak di dalam dadanya muncul, rasa linu di hati yang membuatnya sesak dan menangis. Persis rasa ini adalah rasa yang sejak lama Melati rasakan tetapi ia berusaha hilangkan. Namun, rasa ini muncul lagi. Dadanya sakit dan sesak, ngilu tak kunjung reda. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia sudah menahan semua itu sendirian, tentang semua cerita Revan yang ta kia ceritakan kepada siapapun. Melati takut jika ia meceritakannya kepada dua orang temannya dan kemudian akhirnya tak seperti yang Melati harapkan. Melati dua kali lebih malu. Namun, Melati sudah tidak bisa menahannya. Air matanya sudah beberapa kali menetes, ia menangis tanpa suara. Di kepalanya ada memori tentang Revan hingga pemuda itu tak terlihat lagi.

Tiba-tiba Tiara dan Dinda datang dengan heboh membawa makanan dan minuman.

“Melati!” panggil Dinda dan Tiara.

Melati tak menoleh, pandangannya masih fokus ke depan. Saat Dinda dan Tiara duduk di sampingnya, mereka terkejut melihat gadis itu sedang menangis dan banjir air mata.

“Mel, are you ok?” tanya Dinda dengan intonasi rendah. Wajah Dinda dan Tiara berubah menjadi cemas.

Melati menggeleng dan langsung memeluk Dinda sebab posisinya paling dekat dengan Melati. Dinda terkejut.

“Bang Revan, Din,” ucap Melati diiringi tangis.

“It’s ok, Mel. Nangis aja, biar lega. Puas-puasin,” kata Dinda sambil mengelus lembut kepala gadis itu.

Melati nangis sejadi-jadinya dengan suara yang keras, ia tak perduli juag orang-orang mendengar. Melati sesak, hatinya linu, air matanya tak bisa lagi dibendung. Melati menumpahkan semuanya dipelukan Dinda, tentang semua yang ia rasakan tetapi ia tidak ceritakan, tentang persoalannya yang akan segera ia ceritakan, emosinya yang selama ini ia pendam. Sepanjang Melati menangis, Dinda dan Tiara paham betul harus apa. Mereka hanya diam dan mengelus-elus Melati. Pastinya gadis itu masih mau menumpahkan emosinya dengan menangis dan belum mau menjawab apa-apa.

Saat tangisan Melati mulai mengecil dan gadis itu sudah merasa lelah menangis, Melati bangkit merubah posisinya. Dinda yang menjadi tempat sandaran seperti merasakn transferan emosi yang membuatnya menangis juga. Tiara beusaha membenarkan posisi rambut Melati yang berantakan agar menjadi rapi, mengusap air mata gadis itu yang matanya sudah bengkak dan merah.

It’s ok to crying sometimes,” ucap Dinda lembut, seperti sosok ibu.

“Nanti kalau udah lega nangisnya, boleh mulai cerita,” kata Dinda memberi saran.

Melati mengatur napasnya agar menjadi lebih tenang, walau hatinya masih terasa sesak dan linu. Wajahnya sudah tak terkontrol lagi, tetapi ia tak perduli.

“Mau minum?” Tiara menawarkan sebuah air mineral yang langsung membuat gadis itu mengangguk. Setelah minum, Melati menarik napas dan mulai menceritakan semuanya. Dari awal mereka bertemu di fotokopi kampus hingga saat Revan wisuda, hingga saat ini.

People come and go, memang benar kata Revan. Beberapa orang datang ke kehidupan ada yang ingin menetap lebih lama ada juga yang hanya sebentar saja. Orang-orang yang datang ke kehidupan, tentunya memberikan kita sebuah pelajaran sebagai proses tumbuh. Untuk menemukan sebuah rumah, hampir semua orang harus melakukan pencarian lebih lama lebih teliti, hingga menemukan yang cocok dan pas. Bagi Melati, Revan bukan lah sebuah rumah. Namun, pengibaratan yang cocok adalah tempat les. Mengajarkan Melati banyak hal tentang apa yang ia tidak ketahui, tetapi bukan menjadikannya sebagai tempat pulang.

Because everyone we meet has something to teach us. And what is meant to be will always finds its way. Always.

Comments

Popular posts from this blog

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...

Sing 2 (2021): Ambitious Koala “Buster Moon” to perform at Redshore

The audience's enthusiasm for the first film, "Sing" (2016), made this film succeeds in getting a 2017 Golden Globes nomination which was included in the Best Original Song – Motion Picture category. After five years, the writer and director of this film, Garth Jenning, has finally decided to make the sequel to the "Sing 2" film released in 2021. The 112 minutes "Sing 2" film produced by Illumination is an animated musical comedy film, then distributed by Universal Studios. The first film only featured characters voiced by Matthew McConaughey, Reese Witherspoon, Scarlett Johansson, Nick Kroll, Taron Egerton, Tori Kelly, Nick Offerman, and Jennings. The sequel features new voice actors like Halsey, Pharrell Williams, Bobby Cannavale, etc. Not much different from the previous film, "Sing 2" also presents scenes with accompanying songs like an animated musical that can blind the audience to sing along. Dream as high as possible, and prove that...

Ironi dalam Penyajian Tontonan Berkualitas di Televisi Sekarang Ini

            Perkembangan zaman yang canggih dapat membuat adat budaya serta etika mulai mengalami pergeseran. Gaya hidup pun mulai mengalami perubahan dan seluruh sendi-sendi kehidupan mulai mengikuti. Salah satunya tontonan di televisi. Televisi merupakan salah satu media yang tak lepas dari kehidupan kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, televisi merupakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar. Menurut fungsinya televisi dapat memberikan informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Seiring berkembangnya zaman tayangan di televisi semakin terus berubah. Namun, tayangan televisi dini hari lebih banyak yang hanya memperhatikan kuantitas daripada kualitas. Eksistensi televisi kini tergantikan dengan adan...