Skip to main content

Flash Fiction 2: Rabu Siang

Rabu siang, sekolah Andi digegerkan dengan adanya pembunuhan yang dialami oleh murid kelas 10. Pembunuhan terjadi di halaman belakang sekolah. Mayat tersebut ditemukan sudah tak bernyawa dengan sayatan luka di lengan dan leher. Andi yang sebelumnya sedang bersama korban tak melihat ada gelagat aneh saat ke kantin. Hanya saja, saat di tengah jam pelajaran berlangsung, mereka memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Andi sudah selesai buang air, kiranya korban masih di dalam. Andi meneriaki namanya, tak ada jawaban. Menggedor pintu, saat dibuka bukan dirinya. Tak terlalu lama Andi menunggu, ia muncul dari halaman belakang sekolah. Andi tak tahu kapan kejadian naas itu terjadi. Selepas dari kamar mandi, Andi sudah tak bersama temannya lagi.

Saat ini Andi tak menyangka sekaligus sedih melihat mayat temannya di depan mata. Para murid berbondong-bondong menyaksian mayat korban dievakuasi. Berebut tempat agar dapat menyaksikan dengan jelas. Panik, takut, seram, tak percaya dan ngeri. Semua rasa menjadi satu di benak murid-murid dan para guru. Garis polisi mulai dipasang, jenazah dibawa oleh mobil ambulan. Di paling belakang kerumunan, seorang murid berambut gondrong dengan seragam lusuhnya menatap sinis sambil menyeringai.

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...

Rahasia

Ada yang gelisah sambil menatap keluar dari jendela Langit malam dengan udara dingin seolah ingin menyamai posisinya Bulan dan bintang seakan gagu Ada yang resah tentang tanya Sinar rembulan malam itu tampak redup, ia pun seperti ragu menampakan cahayanya Suara-suara jangkrik tak terdengar, seolah bisu Banyak yang bertanya-tanya Tapi mereka tak dapat menjawab Dan tentang semua ini Semesta tahu jawabnya. —Teruntuk kamu yang sampai saat ini masih terlalu ambigu untuk ku. Obrolan-obrolan ngaco di setiap harinya pun semu. Tulisan ini dari ku yang masih menunggu apa mau mu.