Skip to main content

Flash Fiction 1: Lagu untuk Anindya

             Di siang hari yang terik, Anindya memutuskan untuk membeli es jeruk yang berada di dekat kampus, tak lupa juga ia membeli es titipannya Eki, es buah naga, karena cuaca hari ini lumayan membuat tenggorokan kering.

"Terima kasih, Anindya."

"Sama-sama."

Keduanya duduk di pelataran kursi kampus, di bawah pohon rindang yang anginnya lumayan mengurangi rasa panas. Kemudian mereka membahas salah satu band yang nanti akan menjadi bintang tamu di acara jurusan mereka.

“Bintang tamunya Banda Neira, Nin. Tahu lagu-lagunya?” tanya Eki sambil melirik Anindya.

"Cuma tahu beberapa lagu doang, itu juga karena banyak anak-anak yang sering dengar di Spotify, gue penasaran dan ikut dengar juga," ucap Anindya diiringi cengiran kecil.

"Tahu yang judulnya Sampai Jadi Debu?" tanya Eki memastikan.

Anindya mengangguk sambil tersenyum kecil. Cantik, batin Eki.

"Kalau yang judulnya Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti?"

Anindya mengangguk lagi. Kali ini dengan senyum agak lebar yang membentuk eye smile di matanya terlihat, jadi tambah cantik.

"Pasti lagu yang satu ini lo nggak tahu."

Eki berjalan menghampiri pemuda yang sedang mengobrol dengan temannya, kemudian meminta izin untuk meminjam gitar. Eki kembali duduk di sebelah Anindya. Pemuda itu mulai memetik senar gitar dengan hati-hati, mengingat-ingat kunci gitar dengan perpindahan jari yang cukup lihai.

Eki mulai bernyanyi.

Perempuan di paruh waktu

Hatinya teguh ditempa kalut

Lelaki di ujung tanduk

Harapannya sederhana

Sekisah tanpa cerita

Sekisah tanpa cerita

Jika yang tersisa hanya kita berdua

Jika yang menggila ada kita berdua

Lekas jauh pergi

Lekas jauh pergi

            Lagu selesai.

"Lagu ini judulnya Kisah tanpa Cerita, lagunya buat lo."

Anindya mematung.

Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

sometimes it's across my head

i'm afraid of time flying so fast  i'm afraid of what will happen in the future i'm afraid of the world not as good as i thought i'm afraid of life ahead more dims i'm afraid of anything that hasn't happened yet i just missed my childhood no pain no burden no anxious no more frightening the only happiness that exists have you ever hate being an adult? heve you ever cried because you are going to mature? heve you ever sad because you're you? while you want to come back to being a kid again? wondering how being an adult is sucked life is getting worse when you realized you're not you formerly i supposed that grow up is whole things full of happiness and new things became full of joy but you changed you are growing up you being you now there are new challenges there are lots of nano-nano you can't be supposed to i don't know i'm afraid -i

11:02, 3 Juli 2018

Aku teringat lagi prihal jarak; yang pernah membutakan ku dulu pada mu. Hai? Sekarang apa kabar? Senang rasanya perlahan sudah terbiasa untuk biasa saja. Tapi, aku akan lebih senang lagi jika semesta berencana untuk suatu pertemuan abadi. Hei, tapi lihat lah aku, tersenyum sendiri seperti orang bodoh disini. Membaca ulang pesan yang kau kirim mengenai suara ku akan lagu tersebut. 'hehehe gapapa, tapi bagus kok.' Eh, atau barangkali aku akan lebih dari sekedar senang jika suatu hari nanti 'hehehe' mu tergantikan oleh tawa renyah mu langsung di hadapan ku. Ah, semoga semesta membaca aksara-aksara ku ini. — Dari ku di Tangerang teruntuk yang di Timur pulau ini.