Skip to main content

Flash Fiction 4: Tiga Tahun Lalu

Pasca kecelakaan 3 tahun yang lalu saat Joy mengendarai mobil dari Bandung menuju Jakarta bersama kekasihnya, Nadin. Joy yang sedang mengantuk berat akibat berkendara pukul 2 dini hari, dan harus sampai sebelum siang demi mengejar waktu. Namun sayangnya perjalanan pulang tersebut harus berakhir dengan naas. Mobil Joy menabrak truk yang melintas, disusul kendararan lainnya yang menyebabkan kecelakaan beruntun. Kepala Joy pusing, hidungnya berdarah. Ia melihat ke tempat duduk kekasihnya, Nadin sudah tak sadarkan diri akibat kepalanya terbentur benda keras dan berlumuran darah.

Hanya itu memori yang dapat Joy ingat, selebihnya pandangannya gelap dan tersadar ia sudah berada di rumah sakit. Cek cok mulut terjadi antara pihak keluarga Joy dan Nadin, keluarga Nadin tak terima anaknya dibuat kecelakaan dan Joy dilarang bertemu Nadin selamanya. Ah, jika mengingatnya lagi kepala Joy sakit.

Joy sedang melamun di bangku cafe sambil meminum minuman kesukaannya, cappuccino, dan mengingat memori kelam itu. Pandangannya teralih saat melihat wanita cantik berambut panjang yang mengenakan dress putih selutut. Bukankah itu Nadin? Ia bersama seorang laki-laki yang wajahnya mirip dengan Nadin. Joy bisa tebak kalau itu adalah Rendra, adik Nadin.

Hati Joy berdesir. Rambutnya, cara jalannya, cara tertawanya, dan yang paling Joy ingat adalah luka di dahinya akibat kecelakaan itu. Ah, Joy merasa bersalah sekaligus rindu. Joy memberanikan diri untuk menghampiri Nadin yang berada tak jauh darinya, degup jantung di dadanya seolah terdengar.

“Nadin, aku kangen banget sama kamu.”

Wanita itu menatapnya aneh serta heran. Pemuda yang sedang bersama Nadin, masih ingat pada Joy. Joy melirik Rendra dengan air muka tersedihnya, entah mengapa respon Rendra menggeleng. Joy menatap lekat mata indah itu. Wajah yang selalu Joy rindukan 3 tahun lamanya. Joy tidak salah orang, ini Nadin sungguhan, pacar yang saat kecelakaan bersamanya.

“Maaf, siapa, ya?”

            Hancur hati Joy.


Comments

Popular posts from this blog

Nyawa Terakhir di Dunia Tanpa Peta

Aku melangkah ke dunia yang sunyi, tanpa kompas, tanpa pelita di sisi. Berbekal hati yang penuh cinta kuisi, dan kepala penuh teka-teki yang menari. Tak satu pun suara memberi petunjuk, hanya diam yang menggema dan merasuk. Ini bukan sekadar permainan biasa, ini labirin tanpa batas dan tanpa jeda, Setiap keputusan bisa jadi bencana, atau harapan yang tiba-tiba menyala. Aku belajar bagai buta yang meraba cahaya, menyusun serpihan tanda tanpa suara. Kutulis semua di lembar jiwa, karena tak ada siapa pun yang bisa ditanya. Tapi, sebetulnya bisa kuubah jalan, meretas kode menuju jawaban. Namun kupilih tetap bertahan, demi sebuah pemahaman. Dahulu aku punya tiga nyawa tersisa, kugenggam erat bagai warisan semesta. Karena kupikir masih ada yang bisa dijaga, masih bisa pulih meski luka di mana-mana. Kini tinggal satu denyut di dada, berbunyi seperti genderang perang tanpa jeda. Level ini tinggi—udara pun tak bersahaja, tiap langkahku gemetar, tiap napasku bertanya. Tubuhku luka, langkahku pel...

#Cerpen: Penonton dan Pengisi Acara

Di setiap acara, gadis berbadan mungil itu berusaha untuk menyempatkan waktunya menghadiri seminar, book discussion dan lain-lainnya. Seperti hari ini, ia menyempatkan waktu pulangnya untuk datang ke seminar literasi di fakultas ilmu sosial dan politik. Ia datang hanya seorang diri demi seminar yang mengangkat tema menurutnya menarik. Teman-temannya sudah tak heran melihat gadis itu yang nyeluntur sendirian tiap ada acara. Sasha, biasa gadis itu dipanggil. Paling senang menghadiri acara seminar dan festival literasi, diskusi buku, dan sejenisnya. Tak hanya mendatangi acara dengan tema-tema tertentu. Gadis itu rutin datang ke acara diskusi buku rutin yang diadakan tiap hari Rabu pukul empat sore oleh komunitas Diskala atau Diskusi Buku dan Literasi. Sasha termasuk yang aktif berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Siang ini sehabis kelas, gadis itu melangkah masuk ke gedung fakultas sosial dan ilmu politik. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian casual dan sneaker putih yang selalu...

Rahasia

Ada yang gelisah sambil menatap keluar dari jendela Langit malam dengan udara dingin seolah ingin menyamai posisinya Bulan dan bintang seakan gagu Ada yang resah tentang tanya Sinar rembulan malam itu tampak redup, ia pun seperti ragu menampakan cahayanya Suara-suara jangkrik tak terdengar, seolah bisu Banyak yang bertanya-tanya Tapi mereka tak dapat menjawab Dan tentang semua ini Semesta tahu jawabnya. —Teruntuk kamu yang sampai saat ini masih terlalu ambigu untuk ku. Obrolan-obrolan ngaco di setiap harinya pun semu. Tulisan ini dari ku yang masih menunggu apa mau mu.